Wellington (ANTARA News) - Permukaan air laut yang naik akibat pemanasan global akan mengancam kehidupan dan tempat tinggal lebih dari 200.000 orang yang tinggal di pulau karang dalam beberapa generasi mendatang, demikian laporan PACNEWS, Senin. Peringatan tersebut dikeluarkan oleh arkeolog dan ahlimengenai manfaat pulau karang di University of Queensland, Marshall Weisler. Weisler, sebagaimana dilaporkan oleh Xinhua, mengatakan bahwa kepulauan Kiribati, Tuvalu dan Kepulauan Marshall di Pasifik Tengah, serta Maladewa di Samudra Hindia menghadapi resiko terbesar. Weisler menyatakan situasinya lebih serius dibandingkan dengan yang disadari manusia di bidang pertanian, yang memang sudah hilang akibat naiknya permukaan air laut di Kepulauan Marshall, kata PACNEWS --kantor berita regional yang berpusat di Suva, Senin. "Banyak orang telah memperlihatkan kepada saya daerah yang dulu terdapat kebun sekarang menjadi laguna. Ada pohon kelapa yang tumbuh 20 meter dari bibir pantai, separuhnya telah tumbang," kata Weisler. "Di Kiribati, ada gelombang tinggi yang merendam banyak bagian desa, sehingga orang berada di tanah kering pada pagi hari dan desa rumah panggung sementara air menggenangi bawah rumah mereka selama laut pasang akibat daya tarik bulan." "Ada masalah yang sangat serius bagi generasi mendatang yang mungkin tak dapat hidup di pulau tempat tinggal mereka sekarang," katanya. Panel Internasional mengenai Perubahan Iklim telah meramalkan permukaan air laut dapat naik antara sembilan dan 88 sentimeter pada abad ini. Pulau karang menghadapi ancaman karena semuanya adalah pulau karang kecil yang nyaris tak berada di atas permukaan air laut. Weisler mengatakan naiknya permukaan air laut yang sudah diramalkan rumit karena air dapat naik dengan tingkat yang berbeda dan memiliki dampak yang berbeda, tergantung atas lokasi pulau karang tersebut. Ia menyatakan negara pulau akan menghadapi keputusan berat pada masa depan mengenai kepemilikan lahan, masa depan ekonomi dan penempatan kembali seluruh negara tersebut di dalam wilayah lain. "Rakyat di kepulauan ini memiliki suara kecil karena mereka bukan negara industri Barat dengan banyak penduduk. Orang memperhatikan mereka," kata Weisler. (*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008