Jakarta (ANTARA News) - Keresahan yang merebak di masyarakat akibat publikasi hasil penelitian tentang susu formula baru-baru ini bisa jadi pembelajaran yang sangat berharga soal pentingnya uji-silang (cross-check), antara temuan para peneliti dengan otoritas berwenang terkait.
Menurut Prof Umar A. Jenie, Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), kepada ANTARA News di Jakarta, Minggu, dalam proses penelitian sejatinya ada suatu etika tentang bagaimana seorang peneliti harus merilis hasil penelitiannya.
"Kalau hasil penelitiannya itu berpotensi menjadikan masyarakat panik atau resah, sebaiknya dilakukan `cross check` dengan laboratorium-laboratorium lain," kata Umar.
Ia melanjutkan, "Kalau ternyata hasil temuannya itu benar setelah uji-silang, maka peneliti seharusnya menghubungi otoritas yang berwenang, untuk kemudian merekomendasikan agar barang-barang itu ditarik dari pasaran, misalnya."
Umar mengatakan, terkait dengan kontroversi hasil penelitian tim dari Institut Pertanian Bogor (IPB) tentang temuan kontaminasi bakteri Enterobakter Sakazakii di beberapa jenis susu formula dan makanan bayi, sepatutnya temuan itu dikonsultasikan dengan instansi terkait dalam hal ini Badan POM (Pengawasan Obat dan Makanan).
"Jangan mengumumkan hasil penelitian langsung ke publik, harus di-`cross check` dengan beberapa laboratorium lain dulu dan tentu saja Badan POM," katanya.
Penelitian IPB dilakukan pada tahun 2003 dengan sampling susu yang beredar pada saat itu, kata Sri Budiarti, staf dosen IPB.
"Jadi, tentu saja produknya sekarang sudah tidak ada lagi," ujarnya.
Dosen di Fakultas MIPA IPB itu menjelaskan bahwa penelitian berjudul lengkap "Potensi Kejadian Meningitis Pada Neonatus Akibat Infeksi Enterobacter Sakazakki yang Diisolasi Dari Makanan dan Susu Bayi" itu pertama kali dilakukan tahun 2003 atas biaya dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).
"Lalu pada tahun 2006 baru dipublikan di jurnal ilmiah yang terakreditasi `Food Processing`," katanya menjelaskan.
Ia pun mengatakan bahwa IPB tidak berniat membuat masyarakat resah gara-gara hasil penelitian susu formula dan makanan bayi.
"Pada akhir tahun 2007, kami sebagai penerima dana penelitian dari Depdiknas wajib membuat seminar hasil penelitian kami masing-masing, dan di situs resmi IPB itulah kami tampilkan hasil penelitian tersebut," katanya.
Dalam situs resmi IPB (www.ipb.ac.id/id/?b=598) terpampang berita tentang penelitian ini pada tanggal 15 Februari 2008, dan rupanya artikel inilah yang memantik keresahan masyarakat luas setelah berbagai media memberitakannya.
Berbeda dengan keterangan Sri, di artikel itu disebutkan bahwa "Peneliti Fakultas Kedokteran Hewan IPB mengungkapkan, sebanyak 22,73 persen susu formula (dari 22 sampel) dan 40 persen makanan bayi (dari 15 sampel) yang dipasarkan antara April - Juni 2006 telah terkontaminasi bakteri Enterobacter Sakazakii."
Masih dikutip dari situs IPB, "Sampel makanan dan susu formula yang kami teliti berasal dari produk lokal," kata ketua tim peneliti, Dr Sri Estunigsih.
Di artikel itu disebutkan penelitian dilakukan melalui dua tahap. Tahap pertama, isolasi dan identifikasi E.sakazakii dalam 22 sampel susu formula dan 15 sampel makanan bayi.
Tahap kedua, menguji 12 isolat E.sakazakii dari hasil isolasi dan kemampuannya menghasilkan enteroksin (racun) melalui uji sitolisis (penghancuran sel).
Dari 12 isolat yang diujikan terdapat 6 isolat yang menghasilkan enteroksin. Uji selanjutnya adalah menguji isolat tersebut pada kemampuan toksinnya setelah dipanaskan.
Ternyata, ditemukan 5 dari 6 isolat tersebut yang masih memiliki kemampuan sitolisis setelah dipanaskan.
"Penelitian ini menyimpulkan di Indonesia terdapat susu formula dan makanan bayi yang terkontaminasi oleh E. Sakazakii yang menghasilkan enterotoksin tahan panas dan menyebabkan enteritis, sepsis dan meningitis pada bayi mencit.
Dari hasil pengamatan histopatologis yang diperoleh masih dibutuhkan penelitian senada yang lebih mendalam untuk mendukung hasil penelitian tersebut," dikutip dari artikel yang sama. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008