Markas Besar PBB, New York (ANTARA News) - Pemerintah Indonesia belum yakin rencana Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi penambahan sanksi untuk Iran merupakan langkah bijak. "Masih ada beberapa hari. Kalau memang pemungutan suara dilakukan Sabtu berbagai perkembangan bisa terjadi. Saat ini, sekali lagi saat ini kami belum yakin bahwa penambahan sanksi adalah langkah paling bijak," kata Juru runding Indonesia di Dewan Keamanan PBB, Duta Besar Marty Natalegawa, di Markas Besar PBB, New York, Kamis waktu setempat. Marty menyatakan itu ketika menjawab pers asing apakah Indonesia akan mendukung menolak rancangan saat pemungutan suara di Dewan Keamanan PBB pada Sabtu (1/3) nanti. Rancangan resolusi tentang sanksi terhadap Iran akan diputuskan melalui pemungutan suara oleh 15 anggota Dewan Keamanan PBB. Marty menegaskan Indonesia masih belum melihat perlunya Dewan Keamanan PBB memberikan sanksi tambahan kepada Iran. Indonesia, ujarnya, ingin melihat Dewan Keamanan bersikap bijak dalam menyikapi laporan Badan Energi Atom Internasional (IAEA). "Laporan IAEA sangat kompleks, ada hal-hal positif tetapi juga menyebutkan bahwa Iran masih belum patuh menyangkut pengayaan uranium," kata Marty. Dengan gambaran seperti itu, katanya melanjutkan, Dewan Keamanan harus melihat isu itu secara bijak, jangan secara hitam putih. Amendemen Indonesia juga belum menunjukkan niat melakukan amendemen rancangan resolusi, dengan alasan menghindari keterikatan dengan rancangan yang masih banyak menyisakan pertanyaan, katanya. Kepada Antara, Marty mengatakan Indonesia melihat amendemen apapun yang akan diajukan tidak akan dapat mengubah hal inti dalam rancangan. "Kami tanya seberapa jauh amendemen bisa dilakukan. Ternyata negara-negara sponsor sudah menetapkan bahwa penambahan sanksi terhadap Iran sudah tidak bisa diuubah. Kalaupun ada amendemen, sifatnya bukan masalah inti," ungkapnya. "Nah yang repot, kalau melakukan amendemen, kita justru dianggap sudah terikat dengan rancangan resolusi tersebut," kata Marty menambahkan. Marty menyebut pengakuan Indonesia bahwa Iran sudah menunjukkan itikad baik untuk bekerja sama dengan IAEA selaku badan pengawas nuklir PBB. Ia mengingatkan bahwa kondisi saat ini yaitu Februari 2008 dan Maret 2007 saat Dewan Keamanan PBB mengesahkan resolusi tentang sanksi kepada Iran, sudah berbeda. "Sekarang sudah ada tanda-tanda kerja sama Iran (dengan IAEA, red), walaupun belum 100 persen dapat memuaskan semua pihak. Tanda-tanda itu kan sudah ada," katanya. Mandiri Indonesia oleh sebagian kalangan dilihat sebagai salah satu negara yang melawan arus di tengah sikap lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB, yaitu AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan China. "Kita tetap ingin menunjukkan mampu mengambil keputusan secara mandiri seperti halnya pada Maret 2007 lalu kita juga secara mandiri menyetujui Resolusi 1747," kata Marty. Saat ini, tuturnya, Indonesia belum mendapat jawaban yang meyakinkan dari pihak sponsor yaitu Inggris, Perancis dan Jerman --yang menyiapkan rancangan resolusi soal sanksi tambahan bagi Iran-- tentang sanksi tambahan bagi Iran. "Apakah itu langkah yang paling bijak atau justru menciptakan siklus negatif seperti tidak ada kerja sama lalu ada sanksi, lalu tidak ada kerja sama, keluar lagi sanksi," tanya Marty. Padahal, kata Marty, inti permasalahannya adalah adanya saling ketidakpercayaan (antara Iran dan pihak internasional, red). "Karenanya pada saat ini perlu secara hati-hati bertanya, apakah itu langkah paling bijak?" katanya. Jika disahkan, resolusi tentang sanksi terhadap Iran akan merupakan yang ketiga kalinya dikenai terhadap negara pimpinan Presiden Mahmoud Ahmadinejad itu karena Teheran dianggap tidak mematuhi perintah untuk menunda pengayaan uraniumnya. Iran selama ini berkeras bahwa pengembangan nuklir yang dilakukannya semata-mata untuk tujuan damai yaitu untuk menghasilkan energi yang dibutuhkan masyarakat bukan membuat senjata nuklir. Sebelumnya Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan Resolusi Nomor 1737 dan 1747 tentang sanksi terhadap Iran yang disahkan dengan suara bulat. (*)
Copyright © ANTARA 2008