Surabaya (ANTARA) - Whisnu Sakti Buana dinilai berhasil memimpin Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Kota Surabaya, Jawa Timur, dengan meraih kategori sebagai DPC pelopor dan terbaik.

"Jadi tidak asalan tidak merekomendasi pak Whisnu Sakti Buana sebagai Ketua DPC PDI Perjuangan Surabaya," kata Ketua Pimpinan Anak Cabang (PAC) PDI Perjuangan Bulak Surabaya Riswanto kepada ANTARA di Surabaya, Rabu.

Baca juga: Terpilihnya Adi Sutarwijono permudah Whisnu maju Pilkada Surabaya

Baca juga: Whisnu dinilai punya kemampuan lanjutkan kepemimpinan Wali Kota Risma

Baca juga: Rekercab PDIP tetapkan Whisnu sebagai bakal calon wali kota Surabaya

Baca juga: Whisnu Sakti Buana berpeluang kembali pimpin PDIP Surabaya 2020-2025


Menurut dia, sesuai dengan mekanisme yang ada di AD/ART partai dan Peraturan PDI Perjuangan Nomor 28 Tahun 2019 pada pasal 16 disebutkan bahwa pengusulan ketua DPC diusulkan dari bawah yakni dari PAC ke DPC kemudian dikirim ke DPP.

Dari DPP, lanjut dia, kemudian disaring siapa yang diputuskan. Artinya PAC punya hak suara untuk memilih calon ketua DPC. Sedangkan 31 PAC di Surabaya aklamasi mengusulkan Whisnu Sakti Buana sebagai Ketua DPC kembali.

Selain itu, lanjut dia, pihaknya mempertanyakan kriteria untuk tidak merekomendasi Whisnu Sakti Buana dalam Konfercab PDIP Surabaya pada Minggu (7/7) lalu, melainkan DPP merekomendasi Adi Sutarwijono sebagai Ketua DPC.

"Setelah kita membaca di peraturan partai 28/2019 terkait evaluasi kinerja, di situ ada 11 poin, tapi saya menggaris ada 5 poin yang penting," kata anggota DPRD Surabaya ini.

Poin penting yang dimaksud, lanjut dia, di antaranya tren perbandingan prosentase kenaikan dan penuruan perolehan suara partai pada Pemilu Legislatif (Pileg) 2014 dibandingkan Pileg 2019, evaluasi pemilhan kepala daerah serentak 2015, 2017dan 2018.

Selain itu, lanjut dia, ada poin kepatuhan dan kedisiplinan menjalankan instruksi ketua umum serta tingkat keberhasilan dalam mencapai target suara. Artinya, menurut Riswanto, kalau melihat mekanisme dan parameter yang ditentukan DPP, tidak ada cacatpun untuk tidak merekomendasi Whisnu Sakti Buana.

"Ambil contoh perbedaan perolehan kursi DPRD Surabaya pada Pileg 2014 dan Pileg 2019, meski perolehan suara tetap 15 kursi, tapi perolehan suara PDIP naik sekitar 50 ribu suara. Evaluasi Pilkada Surabaya serentak pada 2015, PDIP memenangkan Pilkada Surabaya," ujarnya.

Selain itu, lanjut dia, pemilihan legislatif di Kota Surabaya, Provinsi Jatim dan RI, PDIP mengalami peningkatan. Untuk Provinsi Jatim dapil 1 dari sebelumnya 2 kursi menjadi 3 kursi. Begitu juga DPR RI meski bertahan 3 kursi, tapi ada kenaikan suara.

Pada peraturan partai 28/2019 pasal 8, lanjut dia, juga dijelaskan evaluasi dibagai 3 kategori yakni kategori baik, cukup dan kurang. Surabaya dikategorikan sebagai DPC pelopor dan terbaik. Sedangkan pada poin-poin setelah itu, disebutkan kategori baik tidak seharusnya menggantikan kepengurusan yang sudah ada.

"Paling tidak ketua, sekretaris, bendahara (SKB) tidak harus diganti. Tapi kalau di bidang lain boleh diganti sesuai kebutuhan. Jadi kalau kita mengacu pada mekanisme partai yang tertuang pada 28/2019 tidak berdasar kalau pak Whisnu tidak direkom," katanya.

Terkait pasal 44 bahwa itu penunjukan SKB adalah kewenangan penuh oleh DPP dalam kaitannya kepentingan strategis partai, pihaknya mempertanyakan strategis partai itu seperti apa, sementara parameter sudah disebutkan semua di peraturan itu.

Ia menilai pengurus lama mampu menjalin komunikasi yang hebat. Bahkan selama kepimpinan Pak Whisnu, PDIP jadi hebat. Jika dibandingkan dari Pileg 2009, PDIP hanya dapat 8 kursi, namun setelah Whisnu jadi ketua DPC pada 2010, kursi menjadi 15 pada Pileg 2014 dan bertahan di 15 kursi pada Pileg 2019.

"Itu pun di Pileg 2019, PDIP mengalami banyak guncangan tsunami poilitik, tapi kita tetap mampu mempertahankan. Itu semua karena komunikasi politik berjalan baik antara strtuktur partai di atas sampai bawah bisa membias ke akar rumput," katanya.

Pewarta: Abdul Hakim
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019