Jakarta (ANTARA News) - Pengamat pasar uang, Edwin Sinaga, mengatakan peluang rupiah menembus angka Rp9.000 per dolar AS sangat besar, karena berbagai faktor pendukung, baik dari internal maupun eksternal sangat kuat. "Dukungan terhadap rupiah sangat besar, hanya tinggal menunggu waktu saja untuk bisa menuju di bawah angka Rp9.000 per dolar AS," katanya di Jakarta, Kamis. Dikatakannya, aktifnya investor bermain di pasar domestik merupakan salah satu faktor yang mendukung mata uang lokal sejak awal pekan lalu menguat. Kondisi ini kemungkinan besar akan berlanjut hanya menunggu keputusan dari Bank Indonesia (BI) mengenai suku bunga acuannya apakah akan tetap stabil atau dinaikkan. Selain itu, laporan dari bank sentral AS (The Fed) yang berencana akan menurunkan lagi suku bunganya untuk memicu pertumbuhan ekonomi AS yang semakin melambat, katanya. Menurut dia, The Fed diperkirakan akan menurunkan suku bunga Fed fund sebesar 50 basis poin menjadi 2,5 persen dan BI diperkirakan akan mempertahankan bunga BI Rate pada level 8 persen. Apabila kedua keputusan itu terjadi, maka akan memicu pelaku pasar asing untuk terus menempatkan dananya di pasar domestik. Capital inflows asing akan semakin besar, karena selisih bunga rupiah terhadap dolar AS makin membesar, tuturnya. Edwin Sinaga yang juga Dirut Finance Corpindo, mengatakan arah rupiah menembus level Rp9.000 per dolar AS sangat memungkinkan. Ini merupakan target jangka panjang, apalagi portofolio asing yang masuk semakin besar. Arus dana asing yang masuk itu oleh pemerintah diperkirakan akan digunakan untuk memicu sektor riil, sehingga pertumbuhan ekonomi nasional tumbuh semakin baik, katanya. Menurut dia, pemerintah harus dapat memanfaatkan dana asing yang cukup besar itu dengan mengalihkannya ke jangka panjang dari jangka pendek. Apabila pengalihan itu bisa berjalan dengan baik, maka target-target ekonomi akan makin dapat dicapai dengan baik. Kekhawatiran terhadap pelambatan ekonomi AS yang menuju ke resesi jangan terlalu dibesar-besarkan. "Kami optimis ekonomi akan tumbuh dengan baik, karena pertumbuhan ekonomi dunia saat ini sudah beralih ke kawasan Asia," demikian Edwin. (*)

Copyright © ANTARA 2008