Jakarta (ANTARA) -- Industri asuransi nasional dihimbau untuk meningkatkan sesi wajib harta benda sebesar 2,5 persen atau maksimal Rp500 juta per polis terhadap Badan Pengelola Pusat Data Asuransi Nasional (BPPDAN).


Pasalnya, jumlah sesi wajib 2,5 persen atau maksimal Rp500 juta per polis, yang belum berubah sejak 2004, dinilai tidak efektif untuk polis dengan risiko yang tinggi. Selain itu, masih banyak perusahaan asuransi yang belum mensesikan semua polis properti ke BPPDAN. Hal ini ditandai bahwa data premi masuk ke BPPDAN masih sebesar 18 persen dari total data nasional.


Kepala BPPDAN Arie Surya Nugraha mengatakan, himbauan ini tak lain untuk menyempurnakan pengelolaan data yang berorientasi pada penetapan tarif yang lebih aktual dan lebih akurat.


"Dengan optimalnya penanaman sesi akan memungkinkan kami melakukan pengelolaan dan pengolahan data yang lebih baik lagi," ujarnya beberapa waktu lalu di kantor Indonesia Re di Jakarta.


Tak kalah penting, lanjut Arie, pihaknya pun aktif berinovasi dalam hal metode penetapan tarif premi. Selama 2019, BPPDAN telah mencanangkan lima rangkaian acara workshop untuk memperkenalkan stokastik poisson, yakni metode penetapan tarif premi yang dinilai akan memberikan tingkat akurasi yang lebih baik lagi.


Selain itu, di pertengahan tahun, BPPDAN juga akan menyelenggarakan kegiatan seminar rutin tahunan untuk berbagi informasi terkini seputar profil risiko dan loss selama 2019.


"Pada dasarnya, kami selalu ingin meningkatkan pelayanan kepada para anggota," tambahnya.


Sebagai catatan, untuk membangun skema penetapan tarif premi yang didasarkan pada keilmuan yang kuat, BPPDAN pun berkolaborasi dengan FMIPA Institut Teknologi Bandung.


Lewat kerjasama ini, BPPDAN memasok data underwriting selama 10 tahun ke belakang kepada ITB. Berdasarkan data yg diterima, pihak ITB berinovasi membuat rate dengan metode stokastik poisson.

Pewarta: PR Wire
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2019