Jakarta (ANTARA News) - Impor barang elektronik melonjak sekitar 58,4 persen menjadi sekitar 3,6 miliar dolar AS pada periode Januari-September 2007 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai sekitar 2,3 miliar dolar AS. Direktur Industri Elektronika Departemen Perindustrian (Depperin) Abdul Wahid di Jakarta, Selasa, mengatakan, sebagian besar impor produk elektronik tersebut merupakan produk yang belum diproduksi di dalam negeri. "Banyak produk elektronik untuk bisnis dan komponen elektronik yang masih diimpor," katanya. Berdasarkan data BPS yang diolah Departemen Perindustrian (Depperin), pada Januari-September 2007, impor elektronik terbesar adalah produk elektronika bisnis/industri mencapai 2,15 miliar dolar AS, kemudian impor komponen elektronik dan bagian lainnya sebesar 934,3 juta dolar AS, dan elektronik konsumsi mencapai 513,8 juta dolar AS. Abdul Wahid mengatakan, ketergantungan impor komponen elektronik di Indonesia masih sangat tinggi mencapai sekitar 80 persen, karena banyak minimnya peningkatan nilai tambah sumber daya alam Indonesia untuk diolah menjadi komponen industri. Ia mengatakan sebenarnya Indonesia memiliki sumber daya alam yang bisa menjadi komponen industri khususnya elektronik, seperti karet, keramik, dan plastik. Namun, akibat minimnya pengkayaan sumber daya alam domestik, maka komoditas yang bisa menjadi keunggulan untuk mendukung industri di Indonesia justru diekspor dalam keadaan mentah. Selain itu, ia mengakui belum harmonisnya tarif bea masuk antara produk jadi dengan komponennya, juga menyebabkan minimnya daya saing produk elektronik nasional terhadap produk impor, terutama dari China. "Produk lemari es misalnya tarif BM sebesar 15 persen, namun bahan bakunya seperti baja lembaran mencapai 12,5 persen. Dalam keadaan demikian produk dalam negeri sulit bersaing," katanya. Oleh karena itu, lanjut dia, Depperin bersama Departemen Keuangan (Depkeu) terus membahas masalah harmonisasi tarif antara produk jadi dan komponennya guna meningkatkan daya dukung terhadap pengembangan industri elektronik maupun industri produk jadi lainnya di dalam negeri. Harmonisasi tarif, dinilainya, sangat penting untuk mendorong pertumbuhan industri yang tengah melambat dalam tiga tahun terakhir ini. Abdul Wahid mengatakan, salah satu program jangka pendek untuk mendongkrak kinerja industri elektronik tahun ini adalah mendorong harmonisasi tarif dan penghapusan pajak penjualan barang mewah (PPnBM) untuk berbagai produk elektronik dengan harga di bawah Rp25 juta per unit. "Kami memproyeksikan dengan harmonisasi tarif dan penghapusan PPnBM, maka industri elektronik nasional mampu tumbuh signifikan tahun ini," ujarnya. Depperin sendiri memproyeksikan industri elektronik mampu menyumbang pendapatan ekspor non migas sebesar delapan miliar dolar AS tahun 2008. Hal senada dikemukakan Ketua Umum Gabungan Industri Elektronik Indonesia (GABEL) Rachmat Gobel. Ia mengatakan peningkatan impor barang elektronik terjadi karena pasar domestik Indonesia yang besar tidak mampu sepenuhnya diisi oleh produk elektronik. "Produk impor menjadi lebih murah, karena disharmonisasi tarif. Padahal produk elektronik yang diproduksi di Indonesia tetap mampu bersaing di pasar ekspor, tapi sulit bersaing di negeri sendiri, karena tarifnya tidak harmonis," ujarnya. Oleh karena itu, GABEL mendesak pemerintah cq Depkeu segera melakukan harmonisasi tarif serta penghapusan PPnBM agar produk dalam negeri bisa bersaing, mengingat banyak produk elektronik impor masuk secara ilegal baik secara penyelundupan fisik maupun administrasi melalui underinvoice. Berdasarkan data BPS yang diolah Departemen Perindustrian (Depperin), total impor produk elektronik pada periode Januari-September 2007 telah melampaui total impor barang elektronik pada tahun 2006 yang mencapai sekitar 3,2 miliar dolar AS. Sejak tahun 2002 sampai 2006 impor barang elektronik menunjukkan tren meningkat rata-rata sekitar 23,2 persen. Pada 2002 impor barang elektronik mencapai sekitar 1,5 miliar dolar AS naik menjadi 1,8 miliar dolar AS pada 2003, dan terus meningkat menjadi 2,7 miliar dolar AS pada 2004, kemudian menjadi 3,16 miliar dolar AS pada 2005. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008