Pelatihan diikuti 18 sekolah, bertujuan untuk penguatan kapasitas guru di kawasan rawan bencana untuk penanganan trauma akibat bencana, serta untuk mengembangkan metodologi penanganan trauma bagi kaum yang awam, kata Ketua Komnas-HAM Sulteng Dedi Askary, di Palu, Selasa.
"Pelatihan ini di targetkan agar para peserta mendapatkan tambahan pemahaman tentang kebencanaan, khususnya tentang pengurangan risiko bencana berbasis sekolah, peserta dapat mendeteksi gejala trauma bagi siswanya, dan peserta mendapatkan pemahaman tentang penanganan taruma," ujar Dedi.
Kegiatan yang berlangsung selama tiga hari itu mulai 9 - 11 Juli 2019, melibatkan narasumber dan fasilitator kegiatan yang berasal dari Kantor Komnas HAM Sulawesi Tengah, Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta, dan Yayasan Kappala Indonesia.
"Kegiatan ini di laksanakan atas inisiatif dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Republik Indonesia Perwakilan Sulawesi Tengah bersama beberapa institusi perguruan tinggi, organisasi masyarakat sipil, serta kalangan industri, utamanya dengan Pusat Studi Kebencanaan Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jogja, Yayasan Kappala Indonesia serta Sampoerna untuk Indonesia yang tergabung dalam “Rumah Bersama Relawan”.
Rumah Bersama Relawan digagas bersamaan dengan berlangsungnya respon darurat oleh para relawan kemanusiaan yang datang membantu masyarakat Sulteng yang menjadi korban dalam bencana alam pada tgl 28 Sepember 2018 khususnya pada masa tanggap darurat, urai Dedi Askari.
Dedi Irawan menjelaskan, bencana dan risiko bencana merupakan hal yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia, untuk itu perlu adanya upaya-upaya yang harus dilakukan untuk dapat mengurangi risiko bencana mulai dari pencegahan, mitigasi, kesiapsiagaan, peringatan dan perencanaan yang baik untuk menghadapi ancaman yang ada di sekitar kita, di dalam siklus penanggulangan bencana hal ini dinamakan dengan manajemen risiko.
Manajemen risiko dilakukan jauh sebelum bencana terjadi, salah satunya adalah penguatan kapasitas dengan pengetahuan dan pendidikan baik di masyarakat ataupun di sekolah.
Risiko trauma bagi warga akibat bencana, kata dia, sering di kesampingkan dibandingkan dengan penanganan risiko yang lain. Penanganan trauma yang dilakukan selama ini hanya sebatas mengalihkan atau melupakan untuk sementara dengan mengajak bermain, bernyanyi dan yang lainnya, belum mengatasi sampai pada apa yang menjadi penyebab trauma, bahkan ada anggapan bahwa penanganan trauma hanya bisa dilakukan oleh yang ahli.
"Guru yang setiap hari berhadapan dengan siswa harusnya mempunyai peran yang besar untuk menangani trauma bagi siswa didiknya. Karena guru mengetahui perubahan yang terjadi pada siswanya setelah terjadinya bencana sehingga guru perlu untuk membekali diri dalam penanganan trauma bagi siswanya," sebut Dedi.
Baca juga: Mulai banyak layanan psikososial di pengungsian Palu
Baca juga: Program dukungan psikososial ceriakan korban gempa
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019