Mataram (ANTARA) - Dalam sebuah seminar manajemen kebencanaan di Mataram, seorang pakar Geologi dan Kegempaan dari Universitas Brigham Young Univesity, Utah, Amerika Serikat, menyampaikan hasil penelitiannya yang sangat mencengangkan publik, khususnya masyarakat Lombok.

Pakar tersebut adalah Prof Ronald Albert Harris, pria dengan sapaan akrab Ron Harris. Bersama 11 anggota timnya dari berbagai Universitas di Amerika Serikat, dia menunjukkan hasil penelitiannya yang sangat mencengangkan publik, khususnya masyarakat Lombok.

Bagaimana tidak, hasil penelitiannya itu menyatakan adanya pergerakan zona subduksi di kawasan perairan Lombok Selatan. Zona yang katanya berbentuk memanjang hingga pulau Sumatra itu dilihat sebagai pertanda meningkatnya aktivitas seismik.

Bahkan setiap tahunnya, lempeng Lombok khususnya di wilayah Lombok Selatan itu mengalami penekanan dan pergeseran sepanjang 35 meter, akibat dari adanya gesekan lempeng Indo-Australia.

Bila lempeng Lombok ini tidak bisa menahan tekanannya, diprediksi dapat menimbulkan gempa "megathrust" dengan kekuatan minimal 9 skala richter dan maksimal 9,5 skala richter.

Namun gempa yang menyimpan potensi besaran 9,5 skala richter itu diteliti berada di Palung Jawa. lokasinya pun belum diketahui dengan pasti, apakah di sekitaran Lombok, Bali, atau Jawa.

Edukasi Bencana

Terkait dengan hal tersebut, Pusat Kajian Pengelolaan Risiko Bencana (PKPRB) Universitas Mataram (Unram), ikut menyampaikan buah pemikirannya.

PKPRB Unram menyatakan bahwa sampai saat ini tidak ada satu pun ahli, peneliti atau manusia, yang bisa menentukan dengan tepat kapan akan terjadi gempa bumi.

Namun demikian, tekad untuk mempelajari atau meneliti bagaimana proses fenomena alam itu bisa terjadi, masih terus dilakukan. Seperti halnya Tim Professor Ron Harris, hasil penelitiannya diperoleh berdasarkan riset dan cerita sejarah gempa besar yang pernah terjadi di Lombok Selatan.

Menurut pandangan Eko Pradjoko, Ketua PKPRB Unram, hasil penelitian Tim Professor Ron Harris yang sempat mendapat sorotan dari berbagai kalangan dan banyak pihak itu dikatakan bukan bermaksud menakut-nakuti masyarakat atau bahkan dengan sengaja ingin menjatuhkan dunia pariwisata Lombok.

Melainkan semua pihak dimintanya untuk menanggapi informasi tersebut dengan pola pikir dewasa. Sudah seharusnya hasil penelitian itu menjadi sebuah informasi penting untuk evaluasi sekaligus ajakan bagi masyarakat agar lebih siap dan waspada dalam menghadapi bencana gempa.

"Jadi pascagempa Lombok di Tahun 2018, hendaknya masyarakat NTB menjadi tetap ingat, tetap waspada dan lebih siap menghadapi bencana selanjutnya yang mungkin terjadi," kata Eko Pradjoko.

Eko menjelaskan bahwa Tim Professor Ron Harris meneliti catatan-catatan tentang gempa terhitung sejak tahun 1800-an, zaman pemerintahan kolonial Belanda di Indonesia. Hasil penelitian tersebut didukung pula dengan metode survei lapangan yaitu di sepanjang selatan Pulau Jawa, Bali hingga Lombok.

Dari hasil pengukurannya di selatan Jawa, umur sedimen yang ditemukan dalam survei lapangan tersebut memprediksikan adanya bencana tsunami yang pernah terjadi pada ratusan tahun silam.

Pemahaman tentang proses gempa bumi melalui laju gerakan lempeng tektonik di selatan Indonesia juga menyimpulkan adanya potensi terjadinya gempa dari sisi selatan Indonesia dengan kekuatan 9 skala richter.

"Dari pemahaman proses tersebut kita menyadari bahwa kejadian gempa bumi bisa berulang kembali. Oleh karena itu penelitian tentang gempa bumi juga berusaha dilakukan melalui pendekatan metode statistik berdasarkan kejadian-kejadian gempa di masa lalu," ujarnya.

"Metode itulah yang diterapkan oleh Professor Ron Harris yang merupakan salah satu dari sekian banyak penelitian tentang gempa bumi dan tsunami yang dilakukan bersama timnya di Indonesia," tambah Eko Pradjoko.

Perkuat Mitigasi

Sebenarnya dalam dua dekade terakhir, sebelum tahun 2000 sudah banyak sekali penelitian tentang potensi bencana. Namun Eko menyadari bahwa hasil penelitian tersebut hanya diketahui oleh kalangan peneliti, dan tidak sampai ke pemerintah atau bahkan ke masyarakat.

Karena itu, dia mengajak semua pihak utamanya pemerintah untuk merapatkan barisan, kumpulkan informasi tentang gempa sebanyak-banyaknya. Kemudian perkuat masyarakat dengan edukasi tentang mitigasi bencana dan siapkan langkah antisipasi.

Bila perlu terapkan aturan pembangunan rumah atau pun gedung bertingkat yang tahan gempa. Sekali pun terjadi gempa dahsyat yang disertai tsunami, simulasi penyelamatan diri, baik di sekolah, swalayan, perkantoran, rumah sakit, maupun gedung perhotelan, harus terus digalakkan.

"Jadi kegiatan edukasi dan mitigasi bencana harus dilakukan secara terus menerus, dari generasi ke generasi," ujarnya.

Senada dengan Eko Pradjoko, Rektor Unram Prof Lalu Husni mengatakan, fenomena alam gempa bumi memang diprediksikan akan selalu terjadi, namun kapan tidak ada yang dapat mengetahuinya.

"Jadi hikmah yang bisa kita ambil adalah jangan sampai ketika terjadi bencana, kita dalam keadaan tidak siap," kata Prof Lalu Husni.

Oleh karena itu, pemerintah begitu juga dengan perguruan tinggi tidak hanya sekedar mengambil peran dengan angkat bicara saja. Namun harus segera mengambil tindakan konkret di lapangan.

Unram sendiri, dikatakan telah mengambil langkah dengan melaksanakan konsorsium mitigasi bencana bersama Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Aceh dan Universitas Tadulako Palu.

"Dengan melakukan riset dan kajian-kajian dari perspektif ilmu pengetahuan, nantinya hasil penelitian itu bisa membantu pemerintah dalam melakukan mitigasi bencana. Sehingga ketika terjadi bencana kita tahu apa yang harus kita lakukan," ujarnya.

Baca juga: Pemerintah harus memitigasi bencana tsunami daerah rawan

Baca juga: Peneliti: gempa di Indonesia dalam fase "terbangun"

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019