Jakarta (ANTARA News) - Meski mantan Wakil Ketua DPR, Zaenal Ma`arif, sudah mendapatkan maaf dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait kasus pencemaran nama baik, namun ia tidak bisa lepas dari jeratan peradilan tindak pidana. "Meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memberikan maaf, tapi ia tidak bisa lepas dari tindak pidana," kata Jaksa Penuntut Umum (JPU), Noor Rachmad, dalam persidangan kasus pencemaran nama baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Selasa. JPU menyebutkan pemohon tetap pada tuntutannya yaitu kasus pencemaran nama baik oleh Zaenal Ma`arif, kendati sudah memberikan maaf. Ia juga menyatakan pembelaan (pledoi) dari Zaenal Ma`arif pada persidangan sebelumnya (19/2) yang menunjukkan surat pemberian maaf dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tidak sesuai dengan substansi perkara. "Pada 6 Maret 2008 mendatang, akan dibacakan tuntutannya," katanya. Mantan Wakil Ketua DPR, Zaenal Ma`arif didakwa dengan tiga dakwaan sekaligus dalam perkara pencemaran nama baik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam sidang perkara tersebut di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Rabu, Jaksa yang diketuai oleh Noor Rachmad mendakwa Zaenal Ma`arif telah dengan sengaja melakukan tuduhan yang tidak benar, menyerang kehormatan dan nama baik, serta melakukan perbuatan tidak menyenangkan disertai ancaman. Dugaan pencemaran nama baik yang dilaporkan Presiden itu bermula ketika Zaenal Ma`arif menyatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menikah sebelum mengenyam pendidikan sebagai taruna AKABRI. Pada 26 Januari 2007, Zaenal menyatakan hal itu di hadapan sekitar 20 orang wartawan di gedung DPR. Zaenal melontarkan pernyataan yang disebut mencemarkan nama baik itu setelah dirinya menerima Keputusan Presiden tentang penggantian antar waktu Zaenal sebagai Wakil Ketua DPR. Perbuatan Zaenal tersebut, menurut jaksa telah memenuhi unsur melontarkan tuduhan yang tidak benar. "Tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang diketahui," kata Jaksa Noor Rachmad. Perbuatan tersebut itu dirumuskan jaksa dalam dakwaan kesatu dan dijerat dengan pasal 311 ayat (1) KUHP.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008