Jakarta (ANTARA News) - Semua perusahaan yang terkait dengan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) wajib mengalokasikan sebagian dananya untuk tanggung jawab sosial (Corporate Social Responsibility/CSR), karena itu tidak benar jika Pasal 74 UU No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas itu hanya mewajibkan perusahaan tambang dan Energi yang perlu CSR.
"Anggapan seperti itu keliru," kata Rektor Universitas Sahid Jakarta, Prof Dr Hidayat Syarief, usai membuka seminar sehari Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan Pertambangan dan Energi di Jakarta, Selasa.
Tanggung jawab sosial terhadap perusahaan sebelumnya hanya bersifat voluntary (sukarela), tetapi saat ini sifatnya sudah mandatory atau wajib bagi perusahaan, utamanya perusahaan yang melakukan pengolahan terhadap Sumber Daya Alam, kata Hidayat,
Seminar yang dilaksanakan Universitas Sahid itu dibuka oleh pejabat yang mewakili Menteri Hukum dan HAM RI dengan pembicara antara lain Prof Dr Gayus Lumbuun, anggota DPR, Dr Partomoan Pohan, Notaris dan Bambang Purwohadi, Ketua Asosiasi Pengeboran Minyak dan Gas Bumi Indonesia, Ir Haryadi B Sukamdani, Wakil Ketua Umum, Kadin bidang kebijakan Publik, dengan moderator, LS Laksanto Utomo, MH.
Dia mengatakan, jika perusahaan tidak diwajibkan, maka kerusakan lingkungan eskalasinya akan terus meluas, karena para pengusaha itu biasanya yang dikejar hanya untung, sedang masalah CSR akan ditinggalkan karena tidak adanya sanksi hukum.
"Ini sebabnya, Universitas Sahid melakukan seminar itu agar pemerintah dapat penerapan Pasal 74 UU PT yang terkait dengan CSR itu," katanya.
Menteri Hukum dan HAM yang dalam hal ini diwakili Dirjen Administrasi Hukum Umum, Dr Syamsudin Manan Sinaga mengatakan, pemerintah memandang penting perlunya perusahaan menerapkan CSR secara wajib. "Ada lima keuntungan jika perusahaan menerapkan CSR itu," katanya.
Lima keuntungan itu, kata Syamsuddin, antara lain dengan mengalokasikan dananya ke CSR, dapat meningkatkan citra positif perusahaan, memberikan perlindungan kepada warga sekitar perusahaan, dapat menekan kemiskinan di sekitar pabrik, dan mengurangi biaya pemerintah yang bersumber dari APBN, karena perusahaan juga punya kepentingan membangun infrastruktur di sekitar perusahaan.
Menjawab pertanyaan, ia mengatakan, pemerintah sampai saat ini sedang mencari masukan dari masyarakat, berapa angka yang pantas sebuah korporasi mengalokasikan dananya untuk CSR.
"Jika akan dikaitkan dengan infak atau zakat, misalnya 2,5 persen dari asetnya, hal itu juga baik. Namun pemerintah sampai saat ini belum dapat memformulasikan angka itu," katanya.
Sementara itu Gayus Lumbuun menambahkan, CSR itu merupakan kewajiban bagi perusahaan yang harus ditaati, melihat banyaknya perusahaan di masa lalu tidak mengindahkan tanggung jawab sosial.
Laksanto Utomo yang juga dekan Fakultas Hukum Sahid Jakarta, menambahkan, hasil seminar ini akan berupa rekomendasi yang akan disampaikan kepada pemerintah sebagai tambahan bahan untuk pembuatan PP No 40 Tahun 2007.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008