Jakarta (ANTARA) - Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya memberikan apresiasi tertinggi atas diakuinya bekas lokasi pertambangan Ombilin di Sawahlunto, Sumatera Barat, sebagai warisan dunia kategori budaya oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB atau UNESCO.
“Selamat, Ombilin di Sawahlunto sudah ditetapkan salah satu warisan budaya oleh UNESCO,” kata Menpar Arief Yahya dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa.
Menpar mengatakan, jika sudah mendapatkan status dari UNESCO maka akan sangat mudah untuk menjual dan memasarkan Ombilin di Sawahlunto sebagai destinasi wisata.
“Status itu sangat penting. Karena akan mempermudah untuk menarik investor, juga menarik wisatawan datang,” katanya.
Menpar Arief dalam kerangka kerja pengembangan destinasi akan selalu menggunakan konsep 3A, (Atraksi, Akses, dan Amenitas) dan jika ingin menjadi pemain global maka harus menggunakan global standar.
Standar global yang dimaksud diwujudkan dalam bentuk membangun bandara internasional di banyak tempat. Sementara dari sisi amenitas, ditandai dengan makin banyak dikembangkan hotel-hotel bintang 5 yang berkelas dunia di berbagai destinasi.
“Ketiga adalah atraksi yang juga harus berkelas dunia. Di banyak tempat di dunia, itu selalu memberi dampak yang signifikan terhadap wisatawan. Brandingnya langsung mendunia karena diakui oleh UNESCO, lembaga dunia,” kata Menpar.
Ombilin menambah koleksi Indonesia yang saat ini memiliki empat warisan dunia kategori alam yakni Taman Nasional Komodo (1991), Taman Nasional Lorentz (1999), Hutan Tropis Sumatera (2004), dan Taman Nasional Ujung Kulon (1991).
Selain itu, Indonesia sudah punya empat warisan dunia kategori budaya, yaitu Candi Borobudur (1991), Candi Prambanan (1991), Situs Sangiran (1996), dan sistem Subak di Bali (2012).
Baca juga: Warisan Dunia UNESCO untungkan pariwisata Sumbar
Baca juga: Berlanjut, revitalisasi kantor tambang warisan dunia jadi hotel
Baca juga: Pemerintah siapkan perlindungan efektif jaga warisan tambang Ombilin
Pewarta: Ahmad Wijaya
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2019