Jakarta (ANTARA) - Seorang wanita paruh baya memperbaiki posisi pipa yang terpasang menyambung di talang tepi atap rumahnya dan menjulur ke bawah menempel pada tong air berwarna biru tua.

"Saya lihat di berita televisi, Bogor sempat hujan beberapa hari lalu. Itu (pipa) saya perbaiki siapa tahu di sini juga akan turun hujan," kata Rahmi Ile, wanita paruh baya yang merupakan warga Kampung Nelayan Kamal Muara, Penjaringan, Jakarta Utara.

Sudah sejak Idul Fitri atau sekitar sebulan lalu hujan tidak turun di kampung nelayan yang lokasinya tepat di tepi Teluk Jakarta dan berbatasan langsung dengan Kabupaten Tangerang, Banten itu.

Padahal, ribuan warga setempat menggantungkan air hujan untuk memenuhi kebutuhan mandi dan cuci pakaian serta perkakas dapur mereka.

Seperti halnya Rahmi Ile, sebagian besar warga kampung berpenghuni mayoritas Suku Bugis dari Sulawesi itu memasang pipa pada talang air di tepi atap rumah mereka untuk menampung air hujan.

Seorang warga lainnya, Indriati mengatakan, pemasangan penampung air hujan sudah menjadi kebiasaan turun temurun sejak kampung nelayan ini berdiri.

Bahkan, menurut Indri, dahulu warga setempat juga memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum dan memasak.

Namun, kini kondisi berubah. "Warga kini memenuhi kebutuhan minum dan memasak dengan air yang dipasok dari operator penyediaan dan pelayanan air bersih di DKI Jakarta, PT PAM Lyonnaise Jaya (Palyja)," kata Indri yang juga menjabat sebagai salah satu ketua RT setempat.

Seorang warga setempat lainnya, Fanna mengenang masa dia kecil atau sekitar 1970 saat warga setempat menyambut dengan suka cita saat hujan turun.

"Semua warga serentak mengeluarkan seluruh wadah yang mereka miliki, dari baskom, ember, hingga tong-tong besar mereka," kata Fanna.

Sejak dahulu hingga kini, belum ada jaringan air bersih yang dipasang pemerintah sehingga warga setempat benar-benar bergantung dengan air hujan.

Sebenarnya, warga sudah mencoba mendapatkan air dari tanah melalui sumur bor yang mereka buat.

"Akan tetapi, air tanah itu berkualitas buruk, memiliki rasa yang asin, dan menyebabkan noda kuning pada baju dan lantai kamar mandi," kata Fanna.

Bahkan, penggunaan air hasil sumur bor pada perangkat logam, seperti alat dapur dan sepeda motor, juga bisa berdampak berkarat.

"Daripada pakai air tanah, mending kami pakai air hujan. Lebih aman," kata Fanna.

Untuk kebutuhan air minum dan memasak sehari-hari, warga menggunakan air yang mereka beli dari Palyja.

Air seharga Rp6.000 per gerobak (setara empat jeriken) itu didistribusikan petugas ke warga melalui selang-selang bagi rumahnya yang masih terjangkau dari tandon penampung dan dengan menggunakan jeriken yang diantar ke rumah warga yang jaraknya tidak terjangkau selang.

Pengeluaran membengkak

Hujan yang tak turun di Kamal Muara sejak sebulan terakhir menyebabkan pengeluaran warga membengkak karena membeli air.

​​Rilis yang disampaikan awal Juli 2019, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan puncak musim kemarau di DKI Jakarta terjadi hingga September 2019.

Kondisi tersebut memaksa warga di kampung nelayan itu merogoh kocek mereka lebih dalam untuk kebutuhan air bersih mereka.

"Saat musim hujan pengeluaran untuk air bersih tidak lebih dari Rp100.000 per bulan, sebulan terakhir ini kami bisa mengeluarkan Rp500.000 per bulan untuk membeli air bersih," kata Rahmi Ile.

Rahmi mengatakan, air untuk kebutuhan mandi dan cuci yang biasa berasal dari tadahan air hujan digantikan dengan air yang dibeli dari pedagang air perorangan.

"Harganya sama seperti yang dijual Palyja, Rp6.000 per empat jeriken," kata Rahmi.

Menurut dia, warga juga membeli melalui pedagang perorangan tersebut karena pasokan air Palyja terbatas sementara permintaan air saat kemarau dari warga meningkat.

"Karena banyak warga yang tidak mau menunggu lama giliran pasokan air dari Palyja, mereka akhirnya membeli dari pedagang air perorangan itu," kata Rahmi.

Salah seorang pedagang air setempat yang enggan disebutkan namanya mengaku omzet mereka meningkat saat kemarau.

"Air yang kami dapatkan dari beberapa sumber air yang berasal dari luar kampung terjual jauh lebih banyak dibandingkan saat musim hujan," kata pedagang itu tanpa mau menyebutkan jumlah peningkatan penjualan airnya.

Seorang pedagang air bersih di Kampung Nelayan Kamal Muara, Penjaringan Jakarta Utara, Senin (8/7/2019). (ANTARA News/Aditya Pradana Putra)

Seorang warga lainnya, Sahril berharap pemerintah untuk dapat membantu warga setempat dalam menyediakan air bersih yang lebih murah melalui penyediaan jaringan pipa ke kampung mereka.

"Harga air dari pedagang setiap musim kemarau selalu naik, 2016 lalu per empat jeriken harganya Rp4.000, sekarang sudah mencapai Rp6.000," kata dia.

Sahril mengatakan, tuntutan warga untuk dibuatkannya jaringan pipa air bersih di kampung mereka sudah lebih dari sepuluh tahun.

Akan tetapi, usaha mereka belum membuahkan hasil. Pipa jaringan air bersih yang mereka idam-idamkan belum terpasang. Hanya pipa-pipa dan slang penadah hujan yang terpasang menempel di talang air atap rumah menghiasi hunian mereka.

Pada kesempatan lain, Ketua Rukun Warga (RW) 04 yang menaungi sekitar 2.000 warga di kampung nelayan Kamal Muara, Sudirman mengatakan, kalangan warga setempat memiliki ketergantungan tinggi terhadap air hujan dengan menampungnya di tong dan jeriken setiap hujan turun.

Hampir seluruh rumah di kampung nelayan ini, kata dia, memasang pipa dari talang di tepi atap rumah untuk mengalirkan air hujan ke tong-tong yang diletakkan di depan rumah mereka.

"Saat kemarau seperti sekarang ini alat itu tidak terpakai dan warga hanya bergantung pada air Palyja dan pedagang perorangan yang dijual kepada mereka," kata dia.


Baca juga: Dari hujan ke kemarau warga Muara Baru tetap beli air bersih

Sudirman mengatakan, pihak pemerintah setempat saat ini sedang mengupayakan pembangunan jaringan air bersih ke Kampung Nelayan Kamal Muara.

"Saat ini sedang proses realiasi, targetnya rencana ini terealisasi pada September-Oktober 2019 di dua RW, 01 dan 04," menurut pria keturunan Suku Bugis itu.

Dia berharap penyediaan jaringan air bersih ini diharapkan bisa mengatasi permasalahan warga dalam mendapatkan air bersih yang lebih murah.

"Semoga penantian lama kami terhadap jaringan air bersih dari pemerintah ini tidak seperti penantian kami akan turunnya hujan di musim kemarau, tak tahu pasti kapan terjadi," kata Sudirman.


Baca juga: Kemarau datang, pengeluaran warga Kamal Muara "membengkak"

Baca juga: Mengatasi kekeringan dengan upaya terstruktur

Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2019