Jakarta (ANTARA News) - "Parliamentary thresold" atau batas minimal perolehan kursi di DPR merupakan salah satu masalah krusial yang hingga kini mewarnai perdebatan alot fraksi-fraksi dalam detik-detik terakhir pembahasan RUU Pemilu sebelum diundangkan hari ini, Selasa (26/2). "Pembahasan atas berbagai materi krusial Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu) masih terus berlanjut. Salah satu masalah krusial yang hingga kini masih diperdebatkan adalah `parliamentary threshold` (PT). Sebab, kendati 10 fraksi di DPR RI sepakat adanya PT, masih ada banyak hal yang perlu dibahas," kata Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Hj Andi Yuliani Paris, di Jakarta, Senin. Ia menambahkan, ketika PT itu akan diberlakukan pada pemilu 2009, ada beberapa hal yang perlu didiskusikan, terutama menyangkut masalah transisinya. "Misalnya, harus ada aturan peralihan untuk memberlakukan `electroral threshold (ET) juga PT pada pelaksanaan Pemilu nanti. ET sebagai syarat Parpol menjadi peserta Pemilu, sedangkan PT untuk membatasi parlemen masuk ke 2009 tentunya," tegas politisi perempuan yang juga anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemilu itu. Andi Yuliani Paris mengaku, hingga malam tanggal 23 Februari 2008 lalu, Pansus Pemilu bersama Pemerintah masih terus membahas kemungkinan apakah akan dimasukkan ke dalam aturan peralihan, terkait dengan parpol-parpol yang sudah mendapatkan kursi di DPR. "Sebab, jika PT itu diberlakukan, tidak boleh ada larangan bagi peserta politik menjadi peserta Pemilu. Namun, mengingat (ini) masih masa transisi, sehingga diperlukan aturan peralihan, yakni aturan yang dirumuskan tim perumus. Satu hal yang penting, Parpol-parpol yang sudah mendapatkan kursi di DPR RI tidak perlu diverifikasi lagi," tandasnya. Masalah lain, terkait PT, menurutnya, ialah soal angka yang juga belum mencapai mufakat. "Belum diputuskan besaran angka terhadap hasil suara Pemilu nantinya. Apakah satu persen, dua ataupun tiga persen. Ini kami belum sepakat," ujar Andi Yuliani Paris. Ia menambahkan, Pansus RUU Pemilu juga belum memutuskan sikap terhadap partai-partai yang tidak mendapatkan paling sedikit dari nilai PT. "Kemungkinannya akan dianggap hangus, atau didistribusikan. Jika dianggap hangus, maka tidak akan menjadi masalah. Tapi kalau didistribusikan, masih terdapat banyak opsi. Di antaranya, suara tersebut akan ditarik ke pusat, ke provinsi maupun kabupaten," jelasnya. Pada posisi itu, menurut Andi Yuliani Paris, fraksi-fraksi belum sepakat, bagaimana kursi itu didistribusikan. "Tentunya kursi ini terkait juga dengan jumlah kursi di DPR RI. Dan kalau jumlah suara itu tidak hangus, berarti kita akan menggunakan kertas suara yang sebanyak-banyaknya 550. Tetapi kalau itu menjadi didistribusikan, berarti jumlah suara itu definitif sebanyak 560," tambahnya. Karena itu, Andi Yuliani Parias berharap, pada pembahasan selanjutnya, DPR RI bersama Pemerintah, khususnya semua fraksi di DPR RI, dapat sepakat tentang nilai PT. "Termasuk kesepakatan tentang jumlah kursi dari partai yang tidak mendapatkan kursi ini didistribusikan atau hangus," tegasnya lagi. Terkait wacana larangan bagi pihak lain melakukan "quick count", Andi Yuliani Paris berpendapat sama dengan Ketua Pansus RUU Pemilu, Ferry Mursyidan Baldan dari Fraksi Partai Golkar. "Dalam RUU Pemilu, tidak ada pelarangan. Tidak ada larangan untuk melakukan `quick count` (hitungan cepat) bagi siapapun. Hanya, kami minta dalam tiga hari masa tenang, tidak ada yang mengumumkan hasil, baik dari lembaga survey atau lembaga `quick count`," tandas Andi Yuliani Paris. Ini penting, karena pihak Pansus RUU Pemilu mengkhawatirkan ada penggiringan opini untuk memilih partai politik tertentu. Karenanya kami berharap, semua partai politik juga tidak melakukan apapun. Soal `quick count` tidak dilarang, hanya kami atur. Alasannya karena kita mempunyai tiga `time zone`, yakni Indonesia Barat, Tengah dan Timur. Takutnya sudah selesai melakukan pemilihan suara di Indonesia bagian Timur, Indonesia bagian Barat belum selesai," kata Andi Yuliani Paris.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008