Jakarta (ANTARA News) - Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera), M. Yusuf Asy`ari, mengemukakan bahwa wacana untuk mengambil alih Bank BTN ke Bank BRI bukan solusi terbaik, mengingat dari sisi kinerja BTN memiliki kelebihan ketimbang BRI. "Kalau saya lebih baik pemerintah memberikan izin BTN melepas saham pada tahun 2008 daripada diambilalih," kata Menpera, dalam Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi V DPR-RI, di Jakarta, Senin. Menurut dia, dalam menyalurkan kredit, misalnya, BTN hanya meminta marjin 4 persen, sedangkan BRI minta 7 persen, jika seandainya BTN jadi diambil alih, maka apakah nantinya tidak akan mengalami kesulitan. Apabila tujuan dari akuisisi itu untuk mendapatkan dana murah, maka kelihatannya tidak mungkin dengan kinerja BRI saat ini, ujarnya. Usulannya, BTN tetap dipertahankan sebagai bank yang membiayai perumahan, sementara untuk mendapatkan dana murah dapat diperoleh dari berbagai sumber yang digabung dalam satu pendanaan. "Sebagai contoh, 40 persen dana Bapertarum ada ditempatkan di rekening Departemen Keuangan, kemudian dana-dana Jamsostek yang bersumber dari iuran dari pekerja serta pemberi kerja. Kalau dana-dana itu digabung serta ditempatkan ke dalam BTN akan menjadi sumber dana murah untuk rumah," ujarnya. Sementara itu, anggota Komisi V DPR-RI, Malkan Amin, mengatakan bahwa sebenarnya untuk dana murah Komisi V sudah memberikan kemudahan kepada pemerintah untuk mengalokasikan dana subsidi selisih bunga Kredit Pemilikan Rumah setiap tahunnya. "Bahkan, tahun ini pemerintah minta Rp800 miliar kami kabulkan, jumlah itu sudah lebih tinggi dibandingkan tahun 2007," ujarnya. Sementara itu, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Menneg BUMN), Sofyan Djalil, berpendapat bahwa BTN tetap akan sulit mendapatkan dana murah sepanjang mengandalkan sumber pendapatan dari obligasi. Obligasi yang diterbitkan pasti merujuk kepada Surat Utang Negara (SUN) senilai 10,2 persen ditambah premi 0,75 hingga 1,2 persen dan biaya (overhead cost) 0,3 persen, maka diperoleh 11 sampai 11,5 persen sebagai "cost of fund". (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008