Jakarta (ANTARA) - Minggu terakhir menjelang ujian semester mata kuliah Komunikasi Strategis tahun 2012, Paramadina Graduate School of Communication (PGSC) Jakarta mengundang dosen tamu Sutopo Purwo Nugroho, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Kuliah yang dimulai pukul 19.00 WIB di The Energy Building lantai 22 kawasan bisnis terpadu, Sudirman Central Business District (SCBD) Jakarta itu berlangsung hangat sekitar dua jam.
Mahasiswa batch-5 yang telah beberapa bulan belajar tentang dua aspek utama komunikasi korporat yakni menyusun strategi komunikasi dan mengelola krisis, seketika disuguhi dengan realitas penanganan bencana yang memang tidak mudah.
Mengundang dosen tamu, mendatangkan para ahli di bidangnya tentu menjadi salah satu strategi agar mahasiswa makin luas cakrawala berpikirnya, bukan hanya melalui kehebatan teori namun juga melihat praktik pelaksanaannya.
Kadang teori-teori memang digdaya di atas kertas namun sangat sulit diaplikasikan di dunia nyata, meskipun bila telah ada segudang prosedur termasuk panduan dan petunjuk teknis.
Ternyata kecerdasan memahami itu semua tetap harus diramu dengan kelihaian memahami masalah, dibarengi dengan pengalaman, bahkan insting dan intuisi yang diperoleh dari kematangan penguasaan medan.
Saat itu, banyak mahasiswa PGSC yang berprofesi sebagai jurnalis telah mengenal “Pak Topo”, demikian para wartawan biasa memanggil namanya, singkat. Pak Topo sebagai rujukan bila ada kejadian bencana, sang penyampai informasi bencana.
Pada file yang saya terima di tahun 2015 tertulis bahwa beliau tiap hari mengirimkan siaran pers via Blackberry Messenger (BBM) kepada 1.997 wartawan.
Kegigihannya menyampaikan informasi bencana secara cepat, lengkap menjadi daya ikat wartawan untuk terus membuntuti beliau secara online maupun offline.
Pada suatu kesempatan pak Topo menelpon saya agar membantu mewujudkan keinginan mendokumentasikan apa yang dikerjakan BNPB terkait komunikasi bencana.
Setumpuk buku, sejumlah file termasuk slide-slide yang diambil dari personal komputernya di Graha BNPB, Jl. Pramuka, Jakarta Timur, telah diberikan kepada saya jauh sebelum beliau didiagnosa sakit.
Memang perlu waktu cukup lama untuk mewujudkan buku tersebut. Kegalauan saya selama menunggu hasil revisi draft buku adalah materi-materi yang terus bertambah, seiring kompleksitas perkembangan komunikasi bencana.
Beruntung saya diberikan dua kali kesempatan wawancana di kantornya dalan rentang waktu yang cukup lama karena kesibukan beliau dan aktivitas rutin saya.
Wawancara pertama ketika beliau menyampaikan ide dasar pembuatan buku. Pak Topo ingin agar bukunya lengkap meliputi teori dan praktek tentang “komunikasi bencana” khususnya yang memotret relasi beliau dengan media.
Pada wawancana pertama, pesan kuat yang ingin disampaikannya adalah “bahwa pada masa lampau, data terkait bencana sangat sulit didapat sehingga menyebabkan banyak sumber mengeluarkan informasi berbeda tentang suatu bencana.”
“Namun, saat ini paradigma itu telah berubah ditandai dengan makin banyaknya berita bencana yang bernilai positif yakni bersifat mencerahkan, mendidik, memberdayakan dan mengandung unsur nasionalisme, yang sumbernya merujuk kepada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).” Demikian tertulis di halaman vii buku “Komunikasi bencana, membedah relasi BNPB dengan media.”
Buku tersebut sudah dapat diunduh di web BNPB. https://bnpb.go.id/publikasi/buku-data-bencana/komunikasi-bencana-membedah-relasi-bnpb-dengan-media.html
Buku ini memotret aktivitas Humas BNPB dalam mengelola hubungan dengan media agar memunculkan berita kebencanaan secara proporsional.
Pak Topo yang telah mempublikasikan 100 jurnal ilmiah nasional serta 11 jurnal ilmiah internasional itu ingin agar media massa memiliki peran lebih besar dalam Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Dengan kata lain wartawan, editor dan media mengambil bagian penting dari proses Pengurangan Risiko Bencana.
Hubungan yang baik dengan media adalah salah satu kontribusi BNPB untuk mewujudkan visi menjadi bangsa yang tangguh terhadap bencana.
Lebih luas dari itu, tugas mengkomunikasikan bencana meliputi tiga hal pokok yakni menyampaikan informasi bencana, mendesain koordinasi komunikasi antar-elemen termasuk Kementerian/Lembaga dan pegiat kemanusiaan untuk menanggulangi bencana serta tugas untuk menangani media.
Terdapat beberapa contoh kasus bagaimana BNPB mengelola komunikasi bencana yang mendapat apresiasi dari dunia internasional. Kesemuanya berujung pada kondisi bahwa negara mampu hadir saat terjadi bencana.
Ke depan buku ini bisa menjadi contoh (role model) dalam mengelola hubungan dengan media.
Pak Topo secara khusus memberikan ucapan terima kasih kepada pengungsi dan relawan yang telah membagikan berbagai pengalaman dan telah memberikan inspirasi yang berharga tentang pengelolaan bencana secara arif dan bijak. Memang Humas berperan dalam proses konversi pengetahuan.
Aset-aset penanggulangan bencana baik berupa prestasi kerja para relawan, kompetensi para ahli bencana, gairah kerja, motivasi, inovasi, inisiatif, penguasaan terhadap informasi, cara berpikir analitik dan konseptual serta keahlian praktis, menjadi kekayaan BNPB.
Hal ini termasuk juga kemampuan linguistik dan naratif, keterampilan membina relasi, merek dagang, paten, citra yang melekat pada individu juga harus terus dikelola untuk meningkatkan kinerja. BNPB harus memastikan bahwa modal intelektual tadi bisa dimanfaatkan sebagai daya saing.
Mungkin perlu membangun budaya senang menulis dan mengemas informasi. Menulis secara terstruktur adalah bagian dari upaya dokumentasikan pengetahuan agar mudah disimpan, dipertukarkan, dan ditemukan kembali.
“Menulis adalah bekerja untuk kebaikan” demikian salah satu slide yang saya terima dari Pak Topo disertai foto dan teks lengkap milik sastrawan Pramoedya Ananta Toer.
Pak Topo, anda telah bekerja untuk kebaikan, selamat jalan Sang Penyampai Informasi Bencana.
*) Magister Ilmu Komunikasi dari Paramadina Graduate school of Communication Jakarta
Baca juga: Putra Sutopo kenang kebaikan mendiang ayah
Baca juga: BNPB: Sutopo contoh pengabdian pada negara
Copyright © ANTARA 2019