Brisbane (ANTARA News) - Australia yang merupakan kekuatan menengah di dunia, namun dalam soal supremasi militer sedang memupuk ambisi besar mempertahankan dominasinya di kawasan Asia Pasifik. Ambisi itu kian terlihat 23 Februari lalu saat para menteri pertahanan dan luar negeri Australia dan AS bertemu dalam forum konsultatif yang dikenal dengan AUSMIN (Australia-US Ministerial) di Canberra. Dalam pertemuan yang diikuti Menhan AS Robert Gates, Wakil Menlu AS, Menlu Australia Stephen Smith dan Menhan Joel Fitzgibbon terungkap sejumlah ambisi strategis Canberra. Selain mereka hadir pula Kepala Staf Gabungan AS, Laksamana Mike Mullen, dan Komandan Armada Pasifik AS, Laksamana Timothy Keating. Media setempat melaporkan Australia tidak hanya mempertimbangkan partisipasinya dalam program sistem pertahanan rudal AS, tetapi juga mendorong negara adidaya itu untuk mengizinkan penjualan pesawat tempur generasi baru "F-22 Raptor". Kedua isu strategis itu mendapat sinyal positif dari delegasi AS. Fitzgibbon, seperti dikutip ABC, mengatakan memanfaatkan pertemuan itu untuk menyinggung perihal hambatan di seputar pembelian pesawat siluman F-22 Raptor. Gates menegaskan bahwa pihaknya punya keberatan prinsipil, namun undang-undang kongres AS melarang penjualan pesawat tempur tercanggih AS itu. F-22 Raptor disebut situs Air Power Australia dapat dilengkapi bom pintar inersial/satelit GBU-32 JDAM (The Joint Direct Attack Munition) itu ke negara asing, termasuk Australia. Jenis pesawat tempur itu merupakan pesawat penyerang dengan bom berpenuntun laser yang berfungsi serba guna. Melihat kendala legal formal itu, Fitzgibbon berjanji menulis surat ke Pemerintah dan Kongres AS untuk meminta undang-undang pelarangan penjualan ke negara asing itu diubah. Hasrat besar Fitzgibbon terhadap pesawat tempur F-22 Raptor ini tidak terlepas dari pertimbangan kemampuan hebat pesawat yang kini dipakai Skuadron Tempur ke-27 Wing Tempur Pertama Langley, Virginia, AS itu sehingga pas dengan isu peninjauan kembali kemampuan tempur udara Australia oleh kementeriannya. Keinginan memasukkan F-22 Raptor ke dalam proses peninjauan kembali itu dimaksudkan sebagai satu opsi jika ada keputusan soal pembatalan kontrak pembelian pesawat tempur F/A-18F Super Hornet senilai lebih dari lima miliar dolar AS yang telah ditandatangani AS dengan John Howard ketika masih menjabat Perdana Menteri Australia beberapa waktu lalu. Isu pembatalan kontrak pembelian F/A-18F dan konsekuensi ongkos pembatalan yang harus ditanggung pemerintah federal Australia itu menjadi wacana politik setelah pada 18 Februari lalu Fitzgibbon mengumumkan struktur dan rincian peninjaun kembali pemerintahan Partai Buruh yang kini berkuasa atas kepatutan rencana kemampuan tempur udara Australia hingga 2045. Peninjauan kembali itu akan membantu pemerintah menilai rencana yang ada sekarang dan menyampaikan pertimbangan tentang kemampuan tempur udara Australia berdasarkan Buku Putih Pertahanan yang baru. Menurut Fitzgibbon, peninjauan kembali itu akan dilakukan dalam dua tahap. Pada tahap pertama, dilakukan penilaian terhadap persyaratan kemampuan tempur udara Australia antara tahun 2010 dan 2015, dan kelayakan mempertahankan pesawat tempur F-111 hingga setelah 2010. Seterusnya dilakukan pula analisa perbandingan pesawat tempur yang ada untuk mengisi ketimpangan yang terjadi akibat penarikan F-111, serta penilaian terhadap status rencana mendapatkan F/A-18 Super Hornet. Pada tahap kedua, peninjauan kembali itu akan mempertimbangkan tren kekuatan udara di kawasan Asia Pasifik hingga tahun 2045, dan kemampuan relatif pesawat tempur generasi sekarang maupun generasi ke-empat dan kelima seperti pesawat untuk segala matra Joint-Strike Fighter (JSF). Dalam peninjauan kembali tahan dua itu, menurut Fitzgibbon, tim peninjau juga akan mengkaji F-22 dengan tetap mempertimbangkan masalah industri yang relevan dengan perkembangan kemampuan tempur udara Australia. Ketika masa pemerintahan Howard, isu pengadaan Super Hornet yang terlanjur disepakati dengan AS itu tidak dapat dilepaskan dari ambisi Angkatan Bersenjata Australia (ADF) mengisi ketimpangan saat pesawat-pesawat F-111 dipensiunkan pada 2014. Bagi Kepala Staf Angkatan Udara Australia, Marsekal Angus Houston, kemampuan tempur Super Hornet sangat baik, tak tertandingi di kawasan Asia Pasifik. Di kawasan Asia, analis pertahanan sering membandingkan kemampuan tempur Super Hornet itu dengan pesawat tempur canggih "Sukhoi" buatan Rusia yang sudah memperkuat angkatan udara China, India, Malaysia dan Indonesia. Bila pembatalan kontrak pembelian Super Hornet benar-benar dilakukan, menurut Pejabat senior Dephan Australia, Stephen Gumley, pemerintah federal harus siap mengeluarkan 400 juta dolar. Dana pembatalan sebesar itu, katanya, harus disiapkan sesuai dengan nilai kontrak yang sejauh ini ada. Biaya itu akan terus membengkak karena semakin lama Australia terlibat dalam program pengadaan itu, semakin banyak pula "Super Hornets" yang dibuat. Kontrak pembelian Super Hornet yang belakangan memunculkan pertimbangan lain dari pemerintahan Perdana Menteri Kevin Rudd dengan melirik F-22 Raptor ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk merumahkan pesawat tempur F-111 pada 2010. Isu penarikan F-111 pada 2010 untuk digantikan dengan pesawat tempur yang dinilai lebih canggih dan mampu menjaga supremasi tempur udara Australia itu semakin bergulir kencang sejak 3 Mei 2007. Saat itu, ADF menyebutkan, pihaknya telah melakukan kontrak pertama akuisisi 24 unit F/A-18 F Super Hornet dan sistem pendukungnya senilai 2,9 miliar dolar dengan Angkatan Laut AS. Berbagai masalah lainnya, termasuk akuisisi senjata, bahkan direncanakan selesai pada 2007, sedangkan pelatihan bagi para personel militer Australia di AS dimulai pada 2009 atau setahun sebelum penarikan F-111. Dephan Australia di masa Howard sangat yakin kehadiran F/A-18 F Super Hornet itu akan mampu mempertahankan kemampuan tempur udara negara itu melalui transisi ke pesawat tempur siluman F-35 pada dekade berikutnya. Pesawat tempur buatan Boeing dan pertama kali terbang pada 29 November 1995 ini dinilai berkemampuan tinggi, terbukti dalam operasi tempur, dan memiliki multi peran. Angkatan Laut AS menfungsikan jenis Super Hornet yang memiliki seri E dan F ini hingga tahun 2030. Sebanyak 24 pesawat Super Hornet Australia itu pada awal rencananya akan ditempatkan di Pangkalan Udara Angkatan Udara Australia (RAAF) di Amberley, Negara Bagian Queensland. Juga di lauit Terlepas dari bagaimana akhir dari kisah "F-22 Raptor" dan "Super Hornet" di antara Canberra dan Washington DC ini, satu hal yang pasti bahwa Australia sangat berambisi menjaga supremasi kemampuan tempur udaranya di kawasan Asia Pasifik. Terjaganya supremasi tempur udara itu diikuti pula oleh hasrat Australia yang besar dalam memperkuat kapasitas tempur lautnya dengan mengembangkan armada kapal selam baru yang mampu membawa peluru kendali jarak jauh serta kapal selam kecil yang canggih. Ambisi memperkuat kemampuan matra laut Angkatan Bersenjata Australia (ADF) itu tampaknya dimaksudkan untuk mengantisipasi perlombaan senjata di kawasan Asia Pasifik. Sebelum isu "F-22 Raptor" bergulir, Fitzgibbon sudah memerintahkan pembuatan rencana pengembangan generasi baru kapal selam AL Australia itu untuk menggantikan armada kapal selam kelas "Collins" pada 2025. Proyek pengembangan armada kapal selam baru dengan biaya 25 miliar dolar yang perlu waktu 17 tahun itu disebut Suratkabar "The Australian" sebagai proyek pertahanan terbesar, terlama, dan termahal di negara itu. Rencana Australia di bawah pemerintahan Partai Buruh memperbaharui armada kapal selamnya itu muncul di saat negara-negara di kawasan Asia Pasifik, seperti Indonesia, China, dan India, juga mulai mengembangkan kekuatan armada kapal selamnya. Kondisi ini berpotensi mengubah keseimbangan kekuatan pertahanan angkatan laut di kawasan tersebut. Fitzgibbon berpandangan bahwa kapal selam dapat memberikan kemampuan militer yang vital bagi Australia. Sejauh ini, Australia memiliki sedikitnya enam kelompok kapal selam, yakni HMAS Collins, HMAS Dechaineux, HMAS Farncomb, HMAS Rankin, HMAS Sheean, dan HMAS Waller. Ambisi besar untuk mempercanggih alat utama sistem senjata (alutsista) ADF itu sepenuhnya merupakan hak Australia, namun sulit untuk dipungkiri bahwa Indonesia kerap dijadikan salah satu "benchmark" pertahanan Australia di kawasan. Asumsi ini beralasan ketika media Australia menyoroti secara khusus kesepakatan kerja sama Indonesia dan Rusia dalam pengadaan alutsista TNI yang pemberitaannya marak di sela KTT Forum Kerjasama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Sydney, September 2007 lalu. Harian "The Sydney Morning Herald" termasuk di antara media cetak yang paling menyoroti kesepakatan Indonesia-Rusia, khususnya tentang pengadaan sejumlah kapal selam, tank, dan helikopter senilai 1,2 miliar dolar AS itu. Suratkabar milik kelompok Fairfax itu bahkan menuding pembelian sejumlah alutsista TNI dari Rusia ini akan memicu perlombaan senjata di kawasan tersebut. Menlu RI, Nur Hassan Wirajuda, menanggapi laporan media Australia di sela KTT APEC Sydney tahun lalu itu, dengan satu penegasan bahwa Indonesia memiliki dasar keperluan yang kuat untuk membangun angkatan bersenjata yang layak. Apa yang disepakati Indonesia dengan Rusia dalam pengadaan alutsista TNI itu juga hanya dimaksudkan untuk mengejar tingkat kemampuan yang memadai bagi sebuah negara kepulauan. Sebagai negara yang berdaulat, Indonesia mempunyai dasar keperluan yang legal untuk membangun angkatan bersenjata yang layak. Namun berdasarkan ukuran anggaran belanja pertahanan selama 30 tahun terakhir, Indonesia justru tergolong negara dengan anggaran yang "sangat rendah", katanya. "Akibatnya pembangunan angkatan bersenjata kita relatif ketinggalan. Apa yang kita sepakati dengan Rusia, daya belanja kita baru untuk mengejar tingkat kemampuan yang memadai bagi sebuah negara seperti Indonesia," kata Menlu RI. Apa yang disampaikan Wirajuda tentang minimnya anggaran pertahanan RI itu adalah sebuah kenyataan yang menyertai perjalanan sejarah TNI hingga saat ini. Pertanyaan Menhan Juwono Sudarsono Januari lalu semakin menegaskan kondisi yang memprihatinkan itu, padahal ia menyebut angka Rp100 triliun atau sekitar 11 miliar dolar sebagai besar dana yang ideal bagi Dephan dan Mabes TNI untuk mendukung kebutuhan negara seluas Indonesia. Dibandingkan dengan Singapura, yang menurut Menhan Juwono, sudah menghabiskan dana pertahanan sebesar 44 miliar dolar AS, Indonesia dipastikan bukan siapa-siapa karena anggaran pertahanannya hanya sekitar Rp3,6 triliun tahun ini. Dengan kondisi demikian, siapa yang sesungguhnya berambisi besar memicu perlombaan senjata di kawasan Asia Pasifik? Agaknya tak sulit untuk melihat Australia sebagai salah satu negara yang terus memupuk ambisi besar untuk menjadi negara kekuatan menengah yang memiliki supremasi militer yang hebat di kawasan. (*)
Oleh Oleh Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2008