Jakarta (ANTARA) - Sebanyak 99 persen kebakaran hutan dan lahan dipicu ulah manusia, baik disengaja maupun tidak, kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo ketika membicarakan tentang kejadian kebakaran hutan dan lahan.

Doni tidak percaya faktor-faktor alam, seperti gesekan daun atau pantulan sinar matahari melalui kaca, bisa memicu kebakaran hutan dan lahan.

Menurut dia, yang paling mungkin terjadi adalah seseorang tidak sengaja membakar, misalnya lewat puntung rokok, atau sengaja membakar karena disuruh pihak-pihak tertentu.

"Upaya pencegahan merupakan cara terbaik dan sangat penting untuk dilakukan karena upaya ini relatif lebih mudah dan murah dibandingkan jika kita melakukan penanggulangan kebakaran yang sudah terjadi," kata Doni.

Doni mengatakan dalam konteks pencegahan, kerja sama berbagai pihak sangat diperlukan. Pelibatan satuan tugas gabungan dari pemerintah, TNI/Polri, masyarakat dan dunia usaha dalam mencegah dan menanggulangi merupakan penguatan.

Doni berharap ada kesamaan persepsi semua pihak, khususnya di Provinsi Riau, Provinsi Sumatera Selatan, dan Provinsi Kalimantan Barat untuk menerima Satuan Tugas Gabungan Kebakaran Hutan dan Lahan TNI.

BNPB akan memberikan pembekalan yang dilakukan di tiga provinsi tersebut. Melalui pembekalan, sinergi dan kerja sama akan dipersiapkan sejak awal sehingga memberikan pemahaman yang sama terhadap kesiapsiagaan dan pencegahan dalam menghadapi ancaman kebakaran.

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memperkirakan curah hujan rendah akan terjadi di beberapa wilayah pada Juli hingga Oktober 2019.

BMKG memantau kondisi el nino lemah yang diperkirakan bertahan sepanjang 2019. Dampak fenomena alam tersebut, musim kemarau perlu diwaspadai.

Beberapa wilayah yang rentan mengalami kekeringan meteorologis adalah Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara. Sedangkan yang rentan mengalami kebakaran hutan dan lahan adalah Riau, Palembang, Jambi, serta sebagian besar Kalimantan. Puncak musim kemarau diperkirakan terjadi pada Agustus.

Baca juga: Riau berusaha lepas dari cengkeraman kebakaran hutan-lahan


Pelibatan TNI/Polri

Untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan, BNPB mengoordinasi masing-masing 1.000 anggota TNI dan 205 polisi di tiga privinsi yang paling rawan terhadap kebakaran hutan dan lahan.

"Mereka akan bermukim di rumah-rumah penduduk, bergaul dengan penduduk setempat dan mengadvokasi penduduk agar tidak melakukan pembakaran," kata Sekretaris Utama BNPB Dody Ruswandi.

Tiga provinsi yang akan menjadi lokasi pengiriman anggota TNI/Polri itu adalah Riau, Kalimantan Barat, dan Jambi yang merupakan provinsi paling rawan mengalami kebakaran hutan dan lahan.

Selain tiga provinsi tersebut, tiga provinsi lain yang juga rawan mengalami kebakaran hutan dan lahan adalah Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Tengah.

Enam provinsi tersebut menjadi perhatian dari pemerintah pusat dalam mengantisipasi kebakaran hutan dan lahan karena memiliki lahan gambut paling banyak.

Selain menempatkan anggota TNI/Polri untuk mencegah tindakan pembakaran hutan dan lahan, BNPB juga tetap menyiapkan upaya-upaya pemadaman apabila terjadi kebakaran.

"Sudah ada helikopter yang ditempatkan di tiga provinsi paling rawan. Jadi ketika dilaporkan ada kebakaran, helikopter akan langsung dikerahkan untuk memadamkan," katanya.

Baca juga: Singapura berterima kasih pada Indonesia tidak ada asap lintas batas


Kurangi Kejadian

Dody berharap upaya-upaya pencegahan pembakaran bisa semakin mengurangi kejadian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.

"Bila dibandingkan kejadian 2015 yang terburuk, sudah semakin baik. Tidak ada lagi sekolah atau bandara ditutup, atau asap yang mengganggu negara tetangga," katanya.

Saat ditanya apakah BNPB memiliki target atau sasaran nihil kebakaran hutan dan lahan, Dody mengatakan target pasti ada. Namun, Indonesia adalah negara dengan wilayah yang luas, sehingga sumber daya untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan juga harus diperluas.

Upaya-upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan sudah dilakukan semakin baik setelah kejadian terburuk pada 2015 dan beberapa negara tetangga sudah mengakui keberhasilan Indonesia dalam mencegah dan mengatasi kebakaran.

"Sekarang kita harus lebih dalam dan komprehensif dalam mengatasi kebakaran hutan dan lahan. Kita sentuh akarnya agar tidak ada lagi pembakaran," tuturnya.

Menurut Dody, akar permasalahan mengapa ada masyarakat yang membakar lahan adalah faktor ekonomi. Masyarakat yang biasanya bercocok tanam, tidak bisa menanam di saat musim kemarau karena ketersediaan air yang minim.

Akhirnya, ketika ada pihak-pihak yang menyuruh membakar lahan untuk kepentingan tertentu dengan imbalan uang, mereka bersedia melakukannya.

Biasanya hutan dibakar untuk membuka lahan agar bisa ditanami tanaman lain yang lebih ekonomis. Padahal, sudah ada cara-cara yang lebih baik dalam membuka lahan daripada melakukan pembakaran.

"Hutan atau lahan dibakar karena cepat dan murah. Akhirnya jadi merusak," tutur Dody.

Karena itu, selain upaya-upaya mencegah pembakaran, juga diperlukan upaya-upaya menyeluruh agar masyarakat yang sebelumnya memiliki kebiasaan membakar hutan dan lahan bisa memiliki tingkat ekonomi yang lebih baik.

Baca juga: Mencoba berdamai dengan kabut asap


Restorasi Gambut

Deputi Penelitian dan Pengembangan Badan Restorasi Gambut Haris Gunawan mengatakan tiga provinsi yang paling rawan mengalami kebakaran hutan dan lahan adalah Riau, Jambi, dan Kalimantan Barat.

Haris mengatakan untuk mengurangi risiko terjadi kebakaran hutan dan lahan operasi, telah dilakukan operasi pembasahan gambut di tiga provinsi paling rawan tersebut.

Selain tiga provinsi itu, provinsi lain yang juga rawan mengalami kebakaran hutan dan lahan adalah Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan.

"Meskipun di masing-masing lokasi ada iklim mikro, misalnya bisa terjadi hujan lokal, tetapi kami tetap memantau dan mendeteksi kemungkinan terjadi kebakaran hutan dan lahan," tuturnya.

Hal itu, kata Haris, untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap kebakaran hutan dan lahan. Pasalnya, bila kebakaran hutan dan lahan sudah terjadi, biasanya tidak bisa cepat ditangani.

Badan Restorasi Gambut memiliki 142 alat pemantau di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut yang bisa dipantau dengan menggunakan ponsel cerdas.

Menurut Haris, Indonesia sudah 18 tahun menghadapi dan mengalami kebakaran hutan dan lahan, beberapa di antaranya menjadi penyebab bencana asap.

Sudah ada terobosan-terobosan yang dilakukan pemerintah Indonesia, di antaranya adalah restorasi gambut. Parameter gambut adalah air dan kelembaban tanah.


Baca juga: Menanti kebijakan kepemimpinan baru bagi restorasi gambut

Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019