Ini 'fresh water', air tawar. Artinya kan jadi penyangga kehidupan. Makanya, perlu diedukasi betapa pentingnya kelestarian lahan gambut

Jakarta (ANTARA) - Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) belakangan ini rajin menghiasi pemberitaan di media, utamanya lahan gambut. Karena sekali terbakar, butuh waktu ekstra lama untuk memadamkan kebakaran lahan gambut.

Bukan hanya kerugian karena lahan yang terbakar, dampak polusi udara dari kabut asap karhutla juga sangat merugikan, bahkan sampai-sampai bisa menyetop aktivitas perekonomian.

Indonesia merupakan negara yang kaya lahan gambut yang tersebar di Sumatera, Kalimantan, hingga Papua. Data Wetlands Internasional, pada 2006 luasan lahan gambut Indonesia mencapai 21 juta hektare atau 36 persen dari luas lahan gambut tropis dunia.

Di Jawa pun ada lahan gambut, tetapi memang tak seluas di luar Jawa, salah satunya adalah di Rawa Pening di Ambarawa, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah.

Karhutla semakin menjadi ancaman seiring dengan musim kemarau panjang yang terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, apalagi daerah yang berlahan gambut, praktis kering.

"Begitu tidak ada hujan selama tujuh hari, kita wajib waspada untuk lahan gambut," kata Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan, Badan Restorasi Gambut (BRG) Haris Gunawan.

Dibentuk pada 2016, BRG diberi tugas melakukan koordinasi dan memfasilitasi restorasi gambut di tujuh provinsi, yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua.

Badan tersebut punya Sistem Pemantauan Air Lahan Gambut (Sipalaga) untuk memantau tingkat kelembaban lahan gambut melalui pengukuran tinggi muka air (TMA).

Sistem akan secara otomatis mendeteksi titik-titik lahan gambut yang TMA-nya melebihi 0,4 meter dari permukaan yang dikategorikan awas kebakaran karena kondisinya yang sangat kering.

Pada masa kemarau, khususnya Juli-Agustus 2019 yang rawan karhutla ini, BRG memantau sistem secara "realtime" dan melaporkan hasilnya ke berbagai pihak sesuai tupoksinya untuk ditindaklanjuti.

Pada awal Juli 2019, terpantau empat daerah dikategorikan awas karhutla, yakni Riau, Jambi, Kalbar, dan Kalteng, dari tujuh provinsi yang menjadi tanggung jawab BRG untuk restorasi lahan gambut.

Tentu, datanya bergerak dinamis sesuai kondisi di lapangan, seperti pekan sebelumnya yang mencatat tiga daerah, yakni Riau, Jambi, dan Kalbar yang dikategorikan awas karhutla.

Membasahi gambut

Restorasi sangat dibutuhkan untuk menjaga kelestarian ekosistem gambut, sekaligus cadangan air, minimal menjaga kelembaban lahan gambut agar jangan sampai kering.

Sebanyak 16 perusahaan perkebunan sawit dan perusahaan pengelola HTI di lima provinsi juga sudah mulai disupervisi kegiatan restorasi gambutnya oleh BRG.

Total areal konsesi dalam target restorasi BRG yang disupervisi hingga April 2019 sudah mencapai 242.260 ha, sebut Deputi Bidang Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi, dan Kemitraan BRG Myrna A Safitri.

Supervisi pada lahan gambut milik perusahaan pengelola HTI dilakukan pada lahan PT Wana Subur Lestari dengan luas konsesi 11.282 ha dan PT Mayangkara Taman Industri dengan luas konsesi 12.024 ha.

Sementara, supervisi pada perusahaan perkebunan sawit antara lain mencakup lahan milik PT Bahana Karya Semesta (2.391 ha), PT Primata Kreasi Mas (5.200 ha), PT Kresna Duta Agro (4.358 ha).

Kemudian, PT Riau Sakti United Plantation (12.064 ha), PT Riau Sakti Trans Mandiri (6.292 ha), PT Cakung Permata Nusa (4.773 ha), dan PT Banyu Kahuripan Indonesia (9.368 ha), PT Surya Cipta Kahuripan (4.212 ha), PT Persada Dinamika Lestari (802 ha).

Lalu, PT Bumi Palma Lestari Persada (6.142 ha), PT Kimia Tirta Utama (1.270 ha), PT Guntung Idaman Nusa (14.548 ha), PT Tabung Haji Indo Plantations (45.229 ha), dan PT Inti Agro Makmur (9.696 ha).

Ternyata BRG tak sendirian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pun punya andil dalam mengawal kalangan perusahaan dalam merestorasi lahan gambut.

Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK Karliansyah menyebutkan setidaknya sudah ada 3,29 juta hektare lahan gambut yang harus direstorasi perusahaan, sudah terbasahi.

"Yang sudah dibasahkan, bukan dipulihkan. Karena yang bisa kita lakukan baru membasahi. Saya tidak berani mengatakan itu pulih, tetapi basah," katanya.

Untuk lahan gambut yang harus direstorasi perusahaan, KLHK menyebutkan terkoreksi yang di HTI sekitar 43 persen sudah selesai.

"Untuk 87 sudah punya dokumen pemulihan, ini kami ikuti terus. Lalu, kalau yang perkebunan 194 sudah selesai pemulihannya," katanya.

Tidak hanya dari perusahaan, masyarakat juga berperan meresporasi lahan gambut dengan pembinaan KLHK yang kini sudah mencapai lebih dari 8.000 hektare.

Alami hidrofobisitas

Restorasi gambut tak selalu berjalan mulus, salah satunya karena tingkat keparahan kondisi lahan yang bisa sampai menyebabkan hidrofobisitas, yakni menolak air akibat degradasi tingkat tinggi.

"Ada suatu kondisi namanya 'hidrophobicity'. Enggak mau dengan air. Padahal, lahan gambut kan enggak boleh kering," kata Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan BRG Haris Gunawan.

Kondisi hidrofobisitas itu, ditemukan dari hasil sampel di Kalimantan Barat, meski di daerah-daerah lainnya pasti ada dengan skala yang bervariasi.

"Dari hasil 'sampling' kami, lokasinya di Kalbar. Seberapa luasnya, masih dikaji. Sebenarnya, di Riau, Jambi, Sulsel pun juga ada," katanya.

Degradasi tingkat tinggi yang dialami lahan gambut bisa terjadi karena faktor alam, yakni musim panas yang berkepanjangan yang menyebabkan kekeringan.

Namun, bisa juga disebabkan ulah manusia yang sengaja membuat lahan gambut mengering dalam waktu sangat lama sehingga mengalami degradasi tingkat tinggi atau rusak.

Selain rusak, lahan gambut yang mengalami hidrofobisitas tersebut juga rawan mengalami kebakaran karena kondisinya sangat kering.

Untuk lahan gambut yang sudah mengalami hidrofobisitas, Haris menyebutkan tidak ada upaya lain, selain diusahakan tetap digenangi air meskipun kondisi permukaan tetaplah kering.

Keberadaan lahan gambut sangat penting karena menjadi salah satu tempat persediaan atau penampung air yang sangat dibutuhkan bagi manusia, mengingat 80 persen lahan gambut adalah air.

"Ini 'fresh water', air tawar. Artinya kan jadi penyangga kehidupan. Makanya, perlu diedukasi betapa pentingnya kelestarian lahan gambut bagi kehidupan manusia," kata Haris.

Inilah mengapa merawat lahan gambut menjadi tanggung jawab bersama sebagai kekayaan alam yang tak ternilai harganya, sebab masyarakat jugalah yang menuai bencana jika lahan gambut rusak.

Di sisi lain, pemerintah harus tegas dalam menegakkan aturan sehingga jangan sampai ada lagi pembukaan lahan gambut yang berdampak merugikan, apalagi jika caranya dengan dibakar.

Baca juga: Mengatasi kekeringan dengan upaya terstruktur
Baca juga: Menghadang musim kemarau di Bumi Melayu Riau
Baca juga: Bantuan pompa hingga asuransi tani, jurus pemerintah hadapi kekeringan

Editor: Arief Mujayatno
Copyright © ANTARA 2019