Jakarta (ANTARA) - Talenta muda Takefusa Kubo, bukanlah sosok pertama yang disebut-sebut sebagai Messi-nya Jepang.
Ia mewarisi gelar serupa dari seniornya Ryo Miyaichi, yang memikat Arsenal untuk membelinya hanya untuk disekolahkan lima klub berbeda hingga kontraknya habis dan kini terdampar di tim cadangan klub kasta kedua Jerman, St. Pauli.
Kubo yang berusia 18 tahun dan baru saja diboyong Real Madrid untuk memperkuat tim cadangannya, Castilla, tentu masih punya banyak waktu untuk membuktikan kemampuannya sebagai Messi-nya Jepang.
Publik Indonesia mengenal Egy Maulana Vikri yang disebut-sebut sebagai titisan Messi, namun bocah yang kemudian direkrut klub Polandia Lechia Gdansk itu juga belum memperlihatkan penampilan yang bisa membuatnya pantas menyandang gelar Messi-nya Indonesia.
Kubo dan Miyaichi di Jepang, Egy di Indonesia, serta puluhan nama pemain dari belahan dunia manapun semua selalu dibanding-bandingkan dan disebut-sebut sebagai titisan Messi, hanya karena setitik potensi yang muncul, biasanya di atas rata-rata kemampuan pesepak bola negeri asalnya yang memang jauh di bawah rata-rata dunia.
Membandingkan dengan Lionel Messi seolah menjadi strategi pemasaran hiperbola terbaik sembari menitipkan harapan jika sang pemain yang dimaksud punya 25 persen saja kemampuan Si Alien, maka prestasi sepak bola negaranya akan ikut terkerek.
Padahal, menjadi Messi itu berat, terutama ketika berbicara soal membawa prestasi tim nasional negaranya, Argentina.
Tak perlu ditanya lagi prestasi Messi di Barcelona. Sepuluh gelar juara La Liga, enam trofi Piala Raja, delapan trofi Piala Super Spanyol, empat trofi Liga Champions, tiga trofi Piala Super Eropa dan tiga trofi Piala Dunia Antarklub, semuanya dimenangi Messi bersama Las Blaugranas.
Bukan hanya itu, enam gelar El Pichichi alias top skor La Liga dan tentunya lima anugerah Pemain Terbaik Dunia Ballon d'Or juga diraihnya selama membela Barcelona.
Namun, ketika berbicara di level timnas, Messi cuma punya medali emas Olimpiade 2008 dan Piala Dunia Remaja (U20) 2005, gelar yang 14 tahun silam membuatnya dibanding-bandingkan dengan legenda Argentina Diego Maradona.
Lahir dan memutuskan membela Argentina menjadi anugerah sekaligus kutukan bagi Messi, sebab dengan berseragam La Albiceleste ia menempatkan dirinya dalam kerangka komparasi bersama pemain tersukses yang pernah mengenakan warna garis-garis putih biru langit, Maradona.
Setelah memukau dunia dalam Piala Dunia Remaja 1979 di Jepang dan menjuarainya, dalam kurun waktu tujuh tahun berselang Maradona menerjemahkan kepiawaiannya itu dengan memikul beban Argentina sendirian untuk meraih trofi Piala Dunia 1986.
Sedangkan prestasi Messi di Argentina terhenti di level junior semata dan selalu berlabel nyaris semata ketika ia membela timnas senior La Albiceleste dalam turnamen apapun.
Namun, Messi tak pernah menyesali keputusannya untuk membela tanah kelahirannya alih-alih berseragam Spanyol, usai ia memperoleh kewarganegaraan dan hak mewakili negara itu di turnamen resmi FIFA beberapa tahun setelah ia diboyong Barcelona dalam usia 13 tahun.
Padahal, jika ia membela Spanyol, Messi tak punya beban besar wajib membawa timnas sukses dan yang jelas pembandingnya pun tak akan sementereng Maradona. Messi mungkin hanya akan dibanding-bandingkan dengan Emilio Butragueno yang prestasi terbaiknya cuma membawa Spanyol jadi runner-up Piala Eropa 1984.
Catatan tiga kekecewaan
Messi empat kali tampil di partai final sebuah turnamen sejak membela timnas senior Argentina, namun ketika kalah 0-3 kontra Brasil di final Copa America 2007 ia masih dianggap sebagai pemeran pembantu dari Juan Roman Riquelme yang saat itu menjadi poros kekuatan utama La Albiceleste.
Messi baru menjadi tulang punggung utama Argentina pada partai final Piala Dunia 2014 serta Copa America edisi 2015 dan 2016, namun ketiganya berakhir dengan kekecewaan semata atau adegan Sang Alien dan rekan-rekannya berjalan melewati trofi yang diperebutkan berkalung medali perak saja.
Dukungan penuh bagi Messi di timnas Argentina bukanlah sesuatu yang wajar setidaknya hingga 2016, sebab warga negara itu kebanyakan tak merasa punya kedekatan yang cukup dengan Sang Alien.
Hijrah ke Spanyol sejak usia dini membuat Messi tak berkesempatan bermain di level profesional untuk klub Argentina dan hal itu menciptakan jarak tak kasat mata dengan suporter La Albiceleste.
Suporter Argentina tentu mendukung Messi untuk berprestasi dengan negaranya, namun hal itu tak ubahnya tindakan sarat pamrih dan hanya akan berbuah gelombang tekanan besar ketika prestasi yang diharapkan tak terjadi.
Belum lagi, tekanan dari media-media global yang mengabaikan sama sekali kontribusi Messi terhadap Argentina tentunya dengan perbandingan catatan gemerlapnya di Barcelona.
Cemoohan dari tribun stadion yang dipenuhi penonton mengenakan seragam Argentina bukan pemandangan aneh tiap kali Messi membela La Albiceleste. Adegan itu terjadi pertama kali pada 6 Juli 2011 ketika Argentina menjadi tuan rumah Copa America dan gagal meraih kemenangan di dua laga pertama penyisihan Grup A usai bermain nirgol kontra Kolombia.
Argentina terhenti di babak perempat final usai kalah lewat adu penalti melawan Uruguay, yang melenggang menjadi juara Copa America 2011, sedangkan jurang antara Messi dan suporter La Albiceleste kian melebar.
Suporter kembali berada di belakang Messi, ketika ia membawa Argentina ke final Piala Dunia 2014 di Brasil, namun setelah kekalahan 0-1 dari Jerman ia kembali dicemooh.
Hal yang sama terjadi setahun berselang dalam Copa America 2015, ketika Argentina mencapai final namun kalah 1-4 lewat adu penalti dari tuan rumah Chile. Gelombang kritik keras dari suporter dan media terus mengalir.
Kekecewaan bagi Messi dan suporter Argentina disebabkan oleh hal yang sama, paceklik gelar, namun menjelma jadi dua hal berbeda. Kemarahan bagi suporter Argentina dan luka yang mendalam bagi Messi.
Setahun setelah kekalahan di partai final Copa America 2015, Messi kembali mengantarkan Argentina ke final turnamen serupa yang merayakan edisi seabad di Amerika Selatan.
Argentina kembali kalah dari lawan yang sama Chile, dengan cara yang sama, namun Messi tak memberikan kesempatan gelombang dukungan berubah menjadi kritik keras, sebab ia segera mengumumkan keputusan untuk pensiun dari timnas Argentina di hadapan sejumlah wartawan hanya sesaat setelah pertandingan berakhir di Stadion MetLife, New Jersey, Amerika Serikat, pada 26 Juni 2016.
"Saya sudah berusaha sekuat tenaga. Sudah empat final, saya menginginkan gelar juara bersama timnas dibanding siapapun, namun sayangnya, itu tidak terjadi. Saya pikir ini yang terbaik bagi semua orang, terutama bagi saya dan mereka yang mengharapkan ini terjadi. Tim ini sudah berakhir bagi saya, keputusan sudah diambil," demikian kata Messi saat mengumumkan keputusannya.
Tak seperti para suporter yang selalu berayun menentukan sikap terhadap Messi, rekan-rekannya di timnas Argentina seperti Sergio Aguero, Javier Mascherano, Gonzalo Higuain, Lucas Biglia, Ever Banega, Ezequiel Lavezzi dan Angel Di Maria memberikan dukungan penuh, bahkan dilaporkan siap mengikuti jejak Messi untuk pensiun dari La Albiceleste.
Ironisnya, setelah sekian lama kegagalan selalu dijawab dengan kritik keras dan gelombang cemooh, keputusan Messi untuk mundur direspon dengan sebuah sikap mengiba. Dari Presiden Argentina Mauricio Macri hingga Walikota Buenos Aires Horacio Rodriguez memohon agar Messi mempertimbangkan ulang keputusannya.
Media sosial diwarnai tagar #NoTeVayasLeo atau "Jangan Pergi, Leo", slogan yang kemudian dijadikan senjata utama ketika sekira 50 ribuan orang memadai monumen Obelisk di pusat kota Buenos Aires pada 2 Juli 2016 menggelar demonstrasi memohon Messi untuk kembali ke timnas Argentina.
Hanya sepekan setelah mengumumkan pensiun dari timnas Argentina, laporan media setempat melaporkan Messi mempertimbangkan mencabut keputusan itu. Hal itu kemudian berbuah pengumuman resmi bahwa ia membatalkan pensiun dari timnas Argentina pada 12 Agustus 2016.
Messi, mungkin bisa berdamai dengan dirinya sendiri, namun luka dan kekecewaan itu masih ada. Ia juga tetap tak mampu menghadirkan prestasi yang didamba Argentina di pentas dunia, ketika hanya terhenti di babak 16 besar Piala Dunia 2018 di tangan Prancis yang melenggang menjadi juara.
Messi melawan dunia
Messi dan Argentina tiba di Brasil untuk mengikuti Copa America 2019, menyimpan setitik harapan untuk menyudahi paceklik prestasi.
Namun, baik Argentina maupun Messi tampil tak meyakinkan di dua pertandingan awal penyisihan Grup B, kalah 0-2 dari Kolombia dan ditahan imbang 1-1 oleh Paraguay ketika Messi mencetak satu gol dari titik putih.
Argentina berhasil melaju ke perempat final sebagai runner-up Grup B setelah mengalahkan tim undangan debutan Qatar 2-0 di laga pamungkas.
Perlahan tapi pasti, Argentina menemukan permainan terbaiknya tanpa mewajibkan Messi mencetak gol atau mengirimkan assist untuk bisa menang.
Hal itu diperlihatkan jelas ketika menundukkan Venezuela 2-0 dalam laga perempat final pada 28 Juni 2019, membalaskan kekalahan 1-3 dalam pertandingan persahabatan internasional sekira tiga bulan sebelumnya yang kebetulan juga jadi laga kembalinya Messi ke Argentina setelah absen hampir sembilan bulan.
Hasil itu menjadi satu-satunya laga perempat final Copa America 2019 yang ditentukan tanpa melewati adu penalti.
Kemenangan atas Venezuela menumbuhkan kepercayaan diri di skuat La Albiceleste yang kini ditukangi Lionel Scaloni. Kendati Messi tak berkontribusi lewat gol atau assist, Scaloni menegaskan perannya sangat besar untuk Argentina tak hanya di dalam lapangan tapi juga di ruang ganti.
Sayangnya, Messi dan Argentina segera menghadapi lawan berat di babak semifinal yakni tuan rumah Brasil, yang juga tengah berusaha menyudahi paceklik juara Copa America selama 12 tahun lamanya.
Argentina menelan kekalahan 0-2 dari Brasil dalam laga semifinal yang berlangsung di Stadion Mineirao, Belo Horizonte, pada 2 Juli 2019.
Hasil itu memang mengecewakan, namun Argentina merasa dicurangi karena kepemimpinan wasit yang mereka nilai memberikan banyak keuntungan untuk tuan rumah Brasil di pertandingan itu.
Messi maju di posisi terdepan untuk membela kehormatan negaranya dan segera melontarkan kritik terhadap kepemimpinan wasit asal Ekuador Roddy Zambrano, yang dinilainya dua kali menolak permintaan pemain Argentina untuk meninjau insiden di dalam kotak penalti Brasil.
Bukan saja kepada Zambrano, Messi juga mengkritik konfederasi sepak bola Amerika Selatan, CONMEBOL, terkait hasil pertandingan itu.
Selepas pertandingan ia menyatakan "muak dengan segala omong kosong yang terjadi di Copa America" sembari menambahkan bahwa "Brasil sebagai tuan rumah dan mereka banyak mengelola CONMEBOL hari-hari ini, itu membuat situasi semakin rumit."
Kali ini, Messi mendapat dukungan penuh dari asosiasi sepak bola Argentina, AFA, yang segera melayangkan protes resmi terkait kepemimpinan Zambrano di laga semifinal kepada CONMEBOL.
Belum selesai drama di Mineirao, Argentina harus menjalani laga perebutan tempat ketiga melawan juara bertahan dua edisi yang jadi korban kejutan Peru, Chile, di Arena Corinthians, Sao Paulo, pada 6 Juli 2019.
Argentina berhasil meraih medali perunggu usai mengalahkan Chile 2-1, namun lagi-lagi sorotan utama pertandingan bukan pada hasilnya, melainkan drama dua kartu merah yang diberikan kepada kapten kedua tim, Messi di Argentina dan Gary Medel di Chile.
Pada menit ke-37 pertandingan, setelah gagal mengejar bola umpan terobosan kiriman Paulo Dybala, Messi terlibat argumentasi dengan Medel yang berujung aksi saling dorong. Melihat kejadian itu, wasit Mario Diaz de Vivar asal Paraguay segera memberikan kartu merah kepada kedua Messi dan Medel.
Hal itu menimbulkan gelombang protes dari pemain kedua tim, namun lima menit setelah kejadian dan De Vivar meninjau tayangan ulang VAR, namun keputusannya tak berubah Messi dan Medel diperintahkan meninggalkan lapangan. Padahal insiden semacam itu biasanya hanya berakhir menjadi kartu kuning semata.
Messi segera melontarkan tuduhan bahwa kartu merah yang diberikan kepadanya adalah dampak dari kritik yang dilancarkannya terhadap CONMEBOL dan kepemimpinan wasit di Copa America 2019.
Tak hanya itu, ia menyebut perilaku korup dan kepemimpinan wasit yang buruk telah merusak sajian Copa America 2019 sehingga tak lagi bisa dinikmati oleh para penonton.
"Perilaku korup dan kepemipinan wasit mengganggu kesempatan penonton menikmati sepak bola dan mereka merusaknya," kata Messi.
Ia bahkan meramalkan Brasil sebagai tuan rumah bakal menjadi juara sebab mendapat dukungan penuh dari CONMEBOL serta keputusan wasit yang selalu menguntungkan mereka.
"Saya pikir tak ada keraguan bahwa Brasil akan menjadi juara. Copa berlangsung berat sebelah ke Brasil," katanya.
Hal itu direspon langsung oleh CONMEBOL yang merilis pernyataan resmi, menyebut ucapan Messi melecehkan turnamen Copa America 2019 beserta para pemain yang berkompetisi di dalamnya.
Bukan hanya itu, tuduhan Messi juga memperlihatkan sikap tak hormat terhadap kerja keras CONMEBOL yang berusaha meningkatkan transparansi, profesionalisme dan pengembangan sepak bola di Amerika Selatan.
Namun, sejauh ini tidak ada indikasi ancaman hukuman terhadap Messi atas ucapannya tersebut.
Sementara itu, partai final Copa America 2019 akan digelar di Maracana pada 7 Juli 2019 (8 Juli 2019 WIB) antara Brasil melawan Peru. Dan kendati Brasil menjadi juara hal itu tak serta merta akan membuktikan ucapan Messi kecuali ada insiden krusial yang memang bisa jadi pembuktikan di partai final nanti.
Messi baru saja merayakan ulang tahun ke-32 pada 24 Juni 2019 lalu, ia mungkin masih akan tampil dalam Copa America 2020 yang bakal diselenggarakan di Argentina dan Kolombia.
Boleh jadi, tahun depan jadi penampilan pamungkasnya di Copa America, di mana ia dan rekan-rekannya akan berganti menjadi tuan rumah dan mungkin akan mendapatkan "perlakuan spesial" dari wasit sebagaimana yang ia tuduhkan diterima Brasil sepanjang musim panas ini.
Tahun depan, bisa jadi merupakan kesempatan terakhir Messi untuk membayar lunas kegagalannya menghadirkan prestasi bagi Argentina. Messi sebagaimana sejak ia muncul ke permukaan, kembali menjalani lakon Messi menghadapi dunia dan segala macam pembuktian yang dibebankan kepadanya.
Namun, biarkanlah hanya Messi yang menjadi Messi, tidak perlu Kubo, Miyaichi, Egy atau pemain di belahan dunia manapun yang belum kita dengar namanya. Sebab menjadi Messi itu berat, biar Messi saja.
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2019