Yogyakarta (ANTARA) - Lahan tanaman padi seluas 1.992 hektare di Daerah Istimewa Yogyakarta mengalami puso atau gagal panen akibat kekeringan selama musim kemarau di provinsi itu yang berlangsung lebih awal sejak April 2019.
Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY, gagal panen paling banyak dirasakan para petani di Gunung Kidul dengan luas lahan mencapai 1.992 hektare, disusul Kabupaten Bantul, Kulon Progo, dan Sleman dengan total luas lahan ketiga wilayah itu mencapai 74 hektare.
Kepala Dinas Pertanian DIY Sasongko menyebut selain faktor kekeringan, banyaknya lahan pertanian yang gagal panen disebabkan banyak petani yang salah memperkirakan musim tanam. Tanaman padi yang terancam dan telah mengalami gagal panen rata-rata baru ditanam pada masa tanam kedua pada April 2019.
"Karena kemarin hujan datangnya mundur kemungkinan (perkiraan petani) selesainya (musim hujan) juga mundur, tapi ternyata tidak. Sehingga petani ada yang menanam dua kali. Ada yang menanam November dan Maret sudah panen, ada yang baru tanam pada April," kata Sasongko.
Merespons hal itu, Distan DIY bersama Kementerian Pertanian (Kementan) telah menyalurkan bantuan sebanyak lima ton benih padi, ditambah bantuan alat mesin pertanian dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) DIY.
Bantuan benih padi bertujuan agar saat musim tanam tiba, petani bisa langsung bercocok tanam padi kembali.
Meski demikian, benih padi baru bantuan pemerintah tak serta merta mengganti kerugian materiil yang telah ditanggung para petani. Beruntung bagi petani yang telah memiliki asuransi pertanian bisa langsung mengklaim kerugian akibat batal memanen puluhan bahkan ratusan hektare padinya yang divonis puso.
Sayangnya, jumlah petani di DIY yang tercatat memiliki asuransi masih terbilang minim. Distan DIY menyebut dari target yang dipatok mencapai 3.000 petani, hingga Juni 2019 baru 256 petani yang telah mengantongi kartu asuransi usaha tanaman padi (AUTP) yang seluruhnya merupakan petani dari Kulon Progo.
Oleh sebab itu, pada tahun ini Distan Pertanian DIY akan menggenjot cakupan asuransi pertanian itu, minimal mampu memenuhi target 3.000 petani. Target 3.000 petani itu kuotanya akan dipecah untuk Kabupaten Sleman, Bantul, dan Gunung Kidul.
Pulihkan kesejahteraan petani
Distan DIY akan terus melakukan upaya jemput bola untuk menyosialisasikan program asuransi itu. Pasalnya, meski menghadapi gagal panen, kesejahteraan para petani tetap bisa tertolong karena mereka bisa mengklaim ganti rugi hingga Rp6 juta per hektare.
Untuk mengikuti asuransi yang terselenggara atas kerja sama pemerintah dengan PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) para petani cukup mendaftarkan diri langsung ke PT Jasindo atau bisa melalui gabungan kelompok tani (gapoktan).
Berkat subsidi dari pemerintah, untuk mengikuti asuransi itu petani pun hanya diwajibkan membayar Rp36.000 per hektare lahan dari besaran premi Rp180.000 untuk satu musim tanam.
Menurut Sasongko, masih rendahnya minat petani mendaftar asuransi itu karena sebagian masih meragukan manfaat asuranasi pertanian layaknya asuransi pada ummnya. Sebagian petani merasa yakin bahwa lahan pertaniannya tidak akan mengalami puso sehingga merasa tidak perlu ikut asuransi.
Tak canggung hadapi kekeringan
Bencana kekeringan bukan menjadi hal yang baru bagi Daerah Istimewa Yogyakarta. Setiap tahun selama musim kemarau, masyarakat di daerah itu, khususnya di Kabupaten Gunung Kidul sudah 'langganan' merasakan dampak kekeringan.
Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono X pun menegaskan bahwa kekeringan itu sudah biasa dihadapi setiap tahun. Dengan demikian, otomatis seluruh ketersediaan anggaran dan logistik untuk mengantisipasi dampak dari bencana itu juga sudah siap.
"Kekeringan biasa setiap tahun di Gunung Kidul, anggaran pasti ada," tegas Sultan.
Menurut Sultan, selain di level provinsi, pos anggaran kedaruratan yang dapat digunakan untuk mengatasi bencana kekeringan juga telah disiapkan masing-masing pemerintah kabupaten/kota.
Penganggaran untuk penanganan bencana kekeringan telah terprogram setiap tahun. Oleh sebab itu, Raja Keraton Ngayogyakarta itu juga meminta apabila terjadi bencana kekeringan maka kabupaten/kota bisa langsung menggunakan pos anggaran kedaruratan tersebut.
Bentuk "Help Desk"
Untuk mengkoordinasikan penyaluran bantuan dropping air yang diinisiasi warga, lembaga, instansi, serta komunitas, BPBD DIY membentuk pusat layanan informasi (help desk).
Melalui "help desk" tersebut, akan ditentukan kapan bantuan air bersih perlu diturunkan dan titik mana saja yang akan dibantu supaya sesuai prioritas kebutuhan di tingkat masyarakat.
Menurut Kepala Pelaksana BPBD DIY Biwara Yuswantana hingga saat ini tercatat sebanyak lima kecamatan di Kabupaten Gunung Kidul dan empat kecamatan di Bantul yang telah mengajukan dan mendapatkan pasokan air bersih karena terdampak bencana kekeringan.
Sebanyak lima kecamatan terdampak kekeringan itu yakni Girisubo, Rongkop, Palihan, Tepus, dan Panggang dengan total 69.899 jiwa atau 19.825 KK. Untuk wilayah itu, BPBD Gunung Kidul telah mengirimkan ratusan tangki air bersih.
Dari lima kecamatan itu, yang paling parah di Girisubo karena sampai akhir Juni sudah 200 tangki yang sudah tersalur ke kecamatan dengan 8 dusun itu. Kemudian Rongkop 8 dusun sudah 100 tangki dan rata-rata kecamatan yang lain memperoleh 20 tangki.
Selain Gunung Kidul, empat kecamatan lain yang telah mengajukan bantuan tersebar di Kabupaten Bantul meliputi Kecamatan Pleret, Dlingo, Piyungan, dan Pandak dengan total warga terdampak 751 jiwa atau 287 KK.
Di level provinsi, menurut Biwara, Dinas Sosial DIY telah menyiapkan 500 tangki air bersih. Sedangkan BPBD DIY ada tiga armada yang telah disiapkan untuk mengirim bantuan air bersih. Meski demikian, sampai sekarang 'dropping' air bersih masih bisa ditangani masing-masing kabupaten.
Sebelumnya, BMKG Yogyakarta menyebutkan sejumlah wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta berstatus "Awas" terhadap potensi kekeringan meteorologis.
Sejumlah wilayah yang berstatus Awas adalah Kecamatan Kasihan, Jetis, Imogiri, Pajangan, Pandak, Bantul, Sewon, Banguntapan, Piyungan (Kabupaten Bantul), Tanjungsari, Paliyan, Girisubo, Rongkop, Karangmojo, Ponjong, Wonosari, Saptosari, Semanu, Tepus (Gunungkidul) dan Kecamatan Panjatan di Kulon Progo.
"Status Awas karena telah mengalami lebih dari 61 Hari Tanpa Hujan (HTH) dan prospek peluang curah hujan rendah di bawah 10 milimeter per dasarian," kata Kepala kelompok data dan informasi Stasiun Klimatologi BMKG Yogyakarta Etik Setyaningrum.
Selain itu, sejumlah daerah di DIY juga ditetapkan berstatus "Siaga" atau telah mengalami lebih 31 HTH dan prospek peluang curah hujan rendah di bawah 10 milimeter per dasarian.
Daerah tersebut, yaitu Kecamatan Pleret, Piyungan, Bambanglipuro, Pundong, Dlingo, Kretek, Kasihan, Sedayu (Bantul), Berbah, Prambanan, Ngemplak, Cangkringan, Seyegan, Moyudan, Minggir, Kalasan, Ngemplak, Pakem, Depok, Gamping, Turi, Godean, Sleman, Ngaglik (Sleman), Kokap, Pengasih, Girimulyo (Kulon Progo), dan Kecamatan Patuk, Purwosari, Ngawen, Nglipar, Playen, Semin (Gunungkidul).
Baca juga: Dampak kekeringan, petani di Bekasi diimbau tunda tanam padi
Baca juga: Mentan luncurkan asuransi sawah dan sapi hindarkan petani dari kerugian
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019