setiap hari saya keluar uang Rp20 ribu untuk air bersih

Jakarta (ANTARA) - Hampir dua bulan hujan tak mengguyur wilayah Ibu Kota Jakarta, musim kemarau masih akan berlanjut hingga puncaknya di September 2019, panas terik menderaskan keringat membuat Nazarudin (42) memilih duduk mengenakan kaos singlet dan celana pendeknya.

Siang itu angin kering dari pesisir pantai Utara Jakarta berhembus di pemukiman warga di perkampungan Muara Baru Gedung Pompa, Penjaringan, Jakarta Utara. Nazarudin duduk santai di warung ibu mertuanya sambil mengamati sekitar.

Di sampingnya Fatmawati (31) tengah menggendong anak keempatnya yang masih berusia sembilan bulan, mencoba mencari kesejukan angin di tengah teriknya panas yang menyengat kulit.

Sudah satu bulan pria asal Medan itu belum melaut lagi, setelah tujuh bulan berlayar. Seorang perempuan menarik selang panjang yang melintang sejak tadi di gang kecil di depan warung mertua Nazarudin.

"Bu Mimi beli air enggak," tanya wanita berjilbab bernama Siti itu sambil memegang ujung selang yang baru ditariknya dari rumah warga lainnya.

Siti Nursanah (31) baru lima bulan ini menggantikan kakak iparnya menjalankan usaha jualan air bersih untuk warga Gedung Pompa di RT 20 RW 17. Jumlah pelanggannya lebih dari 19 rumah.

Air yang dijual seharga Rp10 ribu untuk satu toren berukuran 120 liter itu biasa digunakan untuk mandi, memasak dan mencuci oleh warga sekitar.

Tawaran Siti disambut mertua Nazarudin yang langsung mengambil ujung selang panjang tadi lalu menariknya masuk ke dalam rumah berukuran sempit di belakang lorong kecil yang gelap.

Sejak 2010 Nazaruddin tinggal di rumah mertuanya itu dan baru dua tahun ini hidup mandiri bersama istri dan empat anaknya di rumah kontrakan seharga Rp300 ribu per bulan tidak jauh dari sana.

Tiga anaknya sudah bersekolah, pendapatan sebagai anak buah kapal tidak menentu. Selama tujuh bulan melaut hingga perbatasan Srilanka hanya membawa pulang uang Rp8 juta.

Pendapatannya tergantung dari besarnya hasil tangkapan. Ikan yang tertangkap dilelang, hasilnya dibagi rata bersama 23 anak buah kapal (ABK) kapal bertonase lebih dari 100 GT (gross ton).

Penghasilan terbesar pernah dikantongi Nazaruddin sebesar Rp16,5 juta ketika mereka berhasil menangkap 1.000 ton ikan pelagis (perairan permukaan) dari laut lepas Indonesia.

Selama 14 tahun menjadi Nelayan, Nazarudin tetap bertahan tinggal di perkampungan yang tidak memiliki akses air bersih itu.

Sehari ia harus mengeluarkan biaya Rp10 ribu untuk air bersih, jika dikalkulasikan selama 30 hari, beban biaya membeli air yang ditanggungnya sebesar Rp300 ribu.

Terlebih di musim kemarau ini, kebutuhan air di rumahnya meningkat dua kali lipat. Air yang tadinya cukup satu toren sehari menjadi dua toren sehingga pengeluarannya bertambah menjadi Rp20 ribu per hari.

"Yang pasti setiap hari saya keluar uang Rp10 ribu untuk air bersih. Kalau sekarang nambah jadi Rp20 ribu," kata Nazarudin.

Baca juga: BPBD DKI Jakarta siap pasok air bersih bagi warga
Baca juga: BMKG : DKI Jakarta bersiap hadapi kekeringan

Sumur kering

Kebutuhan air bersih meningkat saat kemarau, karena sumur umum yang selama ini jadi alternatif warga mendapatkan air mulai menyusut volumenya.

Sumur berkedalaman dua meter yang berada tak jauh dari kontrakan Nazarudin sudah habis isinya. Air sedikit demi sedikit terisi lagi secara alami pada pagi harinya.

Memang air sumur itu tidak digunakan untuk mandi karena kualitasnya buruk, rasanya asin, berwarna dan kadang berbau. Supaya bisa digunakan harus disaring terlebih dahulu dengan busa.

"Air sumur cuma buat siram kamar mandi, siram lantai dan kotoran di WC," kata Yati (55).

Satu-satunya akses air bersih diperoleh warga dari penjual air. Ada yang menjualnya secara berkeliling dengan gerobak seharga Rp5.000 untuk dua jerigen ukuran 20 liter. Ada juga yang membeli ke warga setempat yang membuka usaha jual air seharga Rp4.000 hingga Rp3.000 untuk 120 liter.

Air-air tersebut disuplai oleh agen air yang ada di sekitar wilayah Muara Baru. Mereka ada yang mengambil dari pipa air yang ada di wilayah pasar Muara Baru dari Tempat Pelelangan Ikan dan ada juga yang dipasok dari Bogor.

Air tersebut didistribusikan dengan mobil bak terbuka yang menggangkut toren berukuran 1.200 liter air. Dari agen ke pengecer air dijual Rp120 ribu. Setiap hari pengecer memesan satu hingga dua toren air seukuran 1.200 liter, bahkan empat kali pengisian.

Menurut sejumlah warga kondisi sulit mengakses air bersih sudah dirasakan selama beberapa tahun ini, ada yang menyebutkan sejak tahun 2000.

Dulu warga sempat memiliki saluran air bersih, tapi entah kenapa saluran itu diputus pada tahun 1999-an. Lalu warga mulai membeli air bersih dari pedagang pengecer. Saluran air hanya mengalir di wilayah depan Muara Baru yakni sekitar Tempat Pelelangan Ikan dan sekitarnya. Sedangkan warga Gedung Pompa berada di bagian belakang Muara Baru ke arah muara Waduk Pluit.

Wakil Ketua RT 20 RW 17, Asmat mengatakan sekitar 60 persen warganya tidak memiliki akses air bersih dan hidup dengan membeli air dari pedagang. Warga ini tersebar di wilayah Gedung Pompa dan Kebun Pisang (Bonpis).

"Saya sendiri juga beli air," kata Asmat.

Tidak hanya di musim hujan, hingga musim kemarau pun warga Muara Baru Gedung Pompa tetap akan membeli air bersih dengan biaya yang kadang melebihi pendapatan mereka jika dihitung secara matematika.

Air sebagai kebutuhan dasar paling utama ini menjadi lahan pencaharian oleh warga sekitar. Siti mendapatkan keuntungan Rp50 ribu setiap menjual 1.200 liter air di luar uang Rp250 ribu yang harus disetorkannya kepada kakak ipar untuk biaya listrik.

Tidak semua warga bisa menjadi penjual air karena butuh tenaga dan modal yang besar, setidaknya butuh Rp100 juta lebih modal untuk beli mobil angkut, mesin dan tangki ukuran 1.550 liter.

Alasan pekerjaan dan sudah tinggal sejak kecil di Muara Baru membuat warga bertahan hidup walau hak dasarnya untuk menperoleh air bersih terabaikan. Bertahan satu-satunya jalan.


Baca juga: BPPT siapkan tiga skenario modifikasi cuaca atasi polusi udara Jakarta
Baca juga: BPBD DKI: potensi kebakaran saat kemarau tinggi

Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019