Di sini memang ada PAM tapi airnya hanya kecil. Kadang yang keluar malah cuma angin
Sleman (ANTARA) - Wilayah perbukitan di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta sejak dahulu setiap datang musim kemarau hampir pasti menjadi kawasan yang dilanda kekeringan dan kesulitan air bersih.
Selama ini bantuan air bersih menggunakan mobil-mobil tanki menjadi solusi untuk mengatasi masalah menahun tersebut.
Maka tidak mengherankan jika kemudian Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Sleman bersama Kecamatan Prambanan mencari upaya agar ke depan kebutuhan air bersih di perbukitan Prambanan dapat dipenuhi dari sumber air terdekat dan tidak lagi ada bantuan air atau zero dropping.
BPBD Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta mengharapkan bantuan air bersih di kawasan rawan kekeringan semestinya menjadi alternatif terakhir jika memang kondisi sumber air terdekat tidak lagi mampu memenuhi kebutuhan air bersih warga.
"Kami mendorong masyarakat di daerah rawan kekeringan, untuk mengoptimalkan sumber air terdekat, sehingga dropping air ini tidak menjadi rutinitas pada saat musim kemarau," kata Kepala Bidang Kedaruratan BPBD Kabupaten Sleman Makwan.
Menurut dia, penanganan masalah kekeringan adalah mengupayakan bagaimana agar ancaman kekeringan ini dapat ditanggulangi secara berkelanjutan.
"Jadi jika hanya dengan dropping air, maka ini tidak mengatasi masalah dalam jangka panjang. Butuh peran serta masyarakat untuk mengatasi masalah ini," katanya.
Ia mengatakan, di wilayah Kecamatan Prambanan terdapat Organisasi Pengelolaan Air (OPA) Prambanan dan jika ini dioptimalkan diharapkan dapat mengatasi ancaman kekeringan dalam jangka panjang.
"Namun tentunya OPA ini juga butuh peran serta masyarakat dalam operasionalnya, karena ada biaya perawatan. Dengan semakin banyaknya masyarakat yang berlangganan air bersih pada OPA maka biaya operasional bisa lebih ringan," katanya.
Makwan mengatakan, meski demikian pihaknya juga telah menyiapkan sebanyak 75 tangki air untuk penyaluran di wilayah Kecamatan Prambanan.
"Satu tangki berisi 5.000 liter air. Setidaknya itu cukup, kalau masih kurang akan kami tambah lagi di anggaran perubahan," katanya.
Dusun Kikis, Sambirejo, Prambanan merupakan salah satu wilayah yang langganan kekeringan. Pada awal musim kemarau tahun ini sudah ada empat RT yang mengajukan permintaan bantuan air ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sleman.
"Ada sekitar 100-an Kepala Keluarga (KK) yang meminta dropping air seminggu sekali masing-masing satu tangki berisi 5.000 liter. Artinya setiap minggu harus dropping empat tangki," kata pengurus Organisasi Pengelolaan Air (OPA) Prambanan Murjiyanto.
Menurut dia, permasalahan kekurangan air sebenarnya bisa teratasi dengan kehadiran OPA. Namun belum semua masyarakat berlangganan OPA.
"Selain itu, permasalahan lain terkait gravitasi untuk mengalirkan air dan jarak antarrumah yang berjauhan. Sehingga dibutuhkan banyak pipa yang digunakan untuk mengalirkan air ke rumah warga," katanya.
Ia mengatakan, selain itu ada juga warga yang memang karena melihat sumur masih ada air sehingga saat ditawari untuk berlangganan OPA tidak mau.
"Padahal debit air OPA yang berada di Desa Bokoharjo bisa mencukupi kebutuhan pokok masyarakat. Selain itu, semakin banyak yang berlangganan semakin ringan biaya operasionalnya," katanya.
Murjiyanto mengatakan, saat ini untuk berlangganan air bersih di OPA Prambanan per meter kubik masyarakat ditarik Rp8.000, kalau masyarakat yang berlangganan hanya sedikit OPA justru mati karena biaya membengkak," katanya.
Ia mengatakan, sebenarnya untuk bisa zero dropping warga harus memaksimalkan OPA dulu, kalau memang benar tidak bisa mencukupi kebutuhan konsumsi sehari-hari, baru disalurkan bantuan air.
"Selama ini jika ada satu yang minta dropping, semua pasti juga minta dropping. Ini yang harus dicarikan solusinya," katanya.
Sementara itu, Camat Prambanan Rasyid Ratnadi Sosiawan meski meyakini bahwa Prambanan memiliki air melimpah dan pada musim kemarau tahun ini bisa mencapai zero dropping namun mengakui, faktanya tidak semudah itu.
Karena ternyata jaringan pipa air bersih dari OPA setempat belum mampu memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat, ujarnya.
Baca juga: BMKG: sejumlah wilayah di DIY berstatus Awas potensi kekeringan
Baca juga: 1.992 hektare lahan padi di Yogyakarta puso akibat kekeringan
Sumur bor
Desa Wukirharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman yang menjadi langganan dilanda kekeringan secara swadaya mengaktifkan kembali sumur bor yang ada di wilayah setempat guna mengantisipasi bencana kekeringan pada musim kemarau tahun ini.
"Kami akan mengaktifkan kembali sumur bor yang terletak di depan Balai Desa Wukirharjo untuk mengantisipasi ancaman kekeringan pada musim kemarau," kata Kepala Desa Wukirharjo, Kecamatan Prambanan Turaji.
Menurut dia, ancaman kekeringan di wilayah perbukitan di Kecamatan Prambanan hampir terjadi setiap tahun saat memasuki musim kemarau.
"Seperti di Wukirharjo ini juga potensi kekeringan masih tinggi, meskipun di beberapa dusun sudah mulai dialiri jaringan OPA. Namun belum semua dusun bisa terjangkau OPA, apalagi kalau kemarau ini pasti banyak yang membutuhkan air sehingga penggunaannya digilir," katanya.
Ia mengatakan, selama ini pihaknya selalu mengandalkan pasokan air bersih dari OPA yang terletak di Desa Sumberharjo, Prambanan.
"Memang jika nanti jaringan OPA bermasalah, sumur bor ini bisa menjadi cadangan," katanya.
Turaji mengatakan, pada musim kemarau sebelumnya, di Desa Wukirharjo yang sering bermasalah adalah Dusun Watukangsi. Letaknya di sisi utara pegunungan.
"Di Watukangsi ada 300 kepala keluarga (KK). Selama OPA lancar tidak masalah, tapi kebutuhannya air bukan cuma untuk manusia, tapi juga ternak," katanya.
Ia mengatakan, sumur bor yang ada di Wukirharjo sebenarnya sudah ada sejak 2006. Namun sudah lama tidak beroperasi karena ada kerusakan.
"Sumur bor dengan kedalaman 60 meter tersebut dapat digunakan untuk menyuplai 100 KK. Debit airnya satu liter per detik. Memang kecil, tapi kami harapkan bisa untuk mencukupi kebutuhan masyarakat," katanya.
Salah seorang warga Dusun Gedang, Desa Sambirejo Yatimin (45) mengatakan bahwa saat ini warga mulai kesulitan mendapatkan air bersih, bahkan sudah sejak bulan April.
Dia menjelaskan kondisi ini terus terjadi setiap musim kemarau. Padahal di dusunnya sudah ada sumur bor.
"Sumur bor itu tidak bisa menjangkau semua warga, kedalamannya juga hanya 50 meter. Apalagi saat musim kemarau seperti ini pasti tidak ada air," katanya.
Menurut dia jaringan air bersih juga belum banyak membantu warga dalam memenuhi kebutuhan air bersih.
"Padahal kami bayar Rp5.000 per meter kubik, tapi ini juga seret airnya," katanya.
Untuk memenuhi kebutuhan air sehari-hari, warga hanya mengandalkan satu sumur yang dibuat swadaya oleh warga yang berada di bawah jurang.
Oleh karenanya warga yang ingin mengambil air harus berjalan kaki ratusan meter menuruni jurang demi mendapatkan air bersih.
Namun untuk warga yang rumahnya dekat biasanya mereka menampung pada tong. Baru nantinya disalurkan ke rumah dengan menggunakan mesin pompa.
Itu pun tidak bisa setiap hari mendapatkan air, dan harus digilir. "Untuk kebutuhan sehari-hari dicukup-cukupkan saja. Asal bisa buat masak dan mandi," katanya.
Kondisi serupa juga dialami oleh warga di Dusun Kikis, Sambirejo yang memang selalu menjadi langganan kekurangan air bersih sejak beberapa tahun lalu.
"Di sini memang ada PAM tapi airnya hanya kecil. Kadang yang keluar malah cuma angin," kata Sugiyem warga setempat.
Ia mengatakan ketersediaan air saat ini hanya bisa untuk kebutuhan pokok. Oleh karenanya, warga mencoba untuk mencari sumber air baru sambil menunggu bantuan dari pemerintah.
Baca juga: BPBD DIY membuka "help desk" bencana kekeringan
Baca juga: Waspada kekeringan saat musim kemarau
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019