Jakarta (ANTARA News) - Permohonan kuasa hukum Bank Indonesia (BI) untuk menguji Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dinilai salah alamat, karena MK menangani SKLN yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sedangkan, SKLN yang dimaksud BI, yakni Pasal 46 ayat (1) Undang-Undang (UU) Nomor 30/2002 tentang KPK dengan Pasal 49 UU Nomor 3/2004 tentang BI, hingga MK meminta kuasa hukum BI untuk mengkaji kembali permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) tersebut. Hal tersebut terungkap dalam sidang pertama perkara SKLN yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Maruarar Siahaan, dengan anggota HA Mukhtie Fadjar dan Soedarsono di Jakarta, Kamis. Maruarar Siahaan menyatakan, pengajuan permohonan yang disampaikan pemohon (BI) itu harus dikaji atau diperbaiki kembali. "Perbaikan diberikan dalam waktu selama 14 hari," katanya. Sementara itu, Muktie Fadjar meminta kejelasan permohonan yang disampaikan oleh kuasa hukum BI di dalam Pasal 61 ayat (1) UU MK yang menyebutkan "Pemohon adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945 yang mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan". "Jadi, harus ada lembaga utuh yang menjadi obyek sengketa dan harus dijabarkan," katanya. Kemudian, ia menyarankan, agar kuasa hukum BI itu untuk mencari pertentangan antara UU dengan UUD 1945 hingga merugikan konstitusional si pemohon. Ia mengatakan, SKLN itu tidak ada kaitan antara UU dengan UU, demikian pula apakah permohonan yang disampaikan oleh kuasa hukum BI itu berkaitan dengan UU dengan UUD 1945. Hal senada dikatakan oleh hakim konstitusi, Soedarsono, yang mempertanyakan kepada kuasa hukumnya, apakah ada kewenangan BI yang sudah direbut atau dihalangi oleh KPK. "Permohonan itu dijelaskan secara jelas, agar kami memahami dengan jelas," katanya. Sementara itu, permasalahan yang diangkat oleh kuasa hukum BI, yakni, Pasal 49 UU Nomor 3/2004 tentang BI, "Dalam hal anggota Dewan Gubernur patut diduga telah melakukan tindak pidana pemanggilan, permintaan keterangan dan penyidikan harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden. Sedangkan, Pasal 49 UU KPK, berbunyi "Dalam hal seseorang ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, terhitung sejak tanggal penetapan tersebut prosedur khusus yang berlaku dalam rangka pemeriksaan tersangka yang diatur dalam peraturan perundang-unganan lain, tidak berlaku berdasarkan undang-undang ini". Kuasa hukum pemohon, Aa Dani Saliswijaya, mengatakan bahwa pihaknya akan tetap melanjutkan permohonan itu dengan mencari celah hukum apakah terjadinya pertentangan UU dengan UUD 1945 (judicial review) atau SKLN. "Kami akan mempelajarinya, kan, oleh majelis hakim diberi waktu 14 hari untuk perbaikan," katanya. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008