"Petani tidak memenuhi kewajibannya membayar pajak karena lahan sawah yang digarapnya selalu mengalami kerugian akibat gagal panen dampak dari air limbah kulit," kata petugas pajak lapangan dari Kelurahan Sukamantri, Garut Kota, Deni Herdiana kepada wartawan di Garut, Jumat.
Ia menuturkan, petani yang tidak membayar pajak tersebut tersebar di empat kampung atau lahan sawah yang tercemar limbah cair kulit yakni Kampung Lengkong, Bojonglarang, Copong dan Tanjungpura dengan luas lahan 90 hektare.
"Dari 90 hektare lahan sawah itu khususnya di Kelurahan Sukamantri, 60 persen di antaranya tidak memenuhi kewajiban membayar pajak," katanya.
Ia mengungkapkan, petani seringkali mengeluhkan ke petugas kelurahan tentang lahan sawahnya yang seringkali merugi karena gagal panen dampak dari limbah kulit tersebut.
Limbah dari kawasan industri kulit di kawasan Garut Kota itu, kata dia, mengalir ke sungai besar bahkan ke anak sungai yang selama ini mengairi areal lahan pertanian di Garut Kota. "Limbah cair itu mencemari sungai yang selama ini airnya digunakan untuk pertanian," katanya.
Ia menambahkan, selain mencemari aliran sungai, limbah cair kulit tersebut menyebabkan air sumur warga kotor sehingga tidak bisa digunakan untuk kebutuhan rumah tangga warga. "Bahkan, mengakibatkan terjadi iritasi pada kulit tubuh dan menimbulkan berbagai penyakit lainnya," katanya.
Deni mewakili warga dan petani menyampaikan harapan kepada pemerintah daerah dan para pengusaha kulit di Sukaregang Garut untuk menyelesaikan masalah warga yang terdampak limbah industri kulit. "Kami mendesak pemerintah dan para pengusaha untuk memfungsikan atau mengoperasikan Instalasi Pengolahan Air Limbah yang sudah ada," katanya.*
Pewarta: Feri Purnama
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019