Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah harus mencermati proyek raksasa Malaysia yang berencana membangun "Sarawak Corridor of Renewable Energy" (Score) atau Koridor Koridor Energi Terbarui Serawak yang berada di kawasan perbatasan wilayah RI di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. "Mega proyek Malaysia ini harus dicermati oleh Pemerintah Indonesia, terlebih di tengah krisis energi yang sedang dirasakan di dalam negeri," kata Chalid Muhammad, Direktur Eksekutif Walhi, kepada ANTARA News di Jakarta, Rabu. Dalam rencana utamanya, Koridor Serawak menargetkan menarik investasi senilai RM334 miliar atau sekitar 951 triliun rupiah lebih. Pemerintah pusat Malaysia sendiri berkomitmen menanam 15 persen dari nilai itu sampai tahun 2030. Saat peluncuran, 11 Februari 2008, Pemerintah Malaysia sudah mengucurkan RM5 miliar atau hampir 14,3 triliun rupiah. Menurut laporan kantor berita Malaysia Bernama, koridor raksasa itu dibangun di kawasan tengah Serawak, melintasi 70.700 km persegi di kawasan Bintulu, Kapit, Sibu, Mukah, dan Sarikei. Luas lahan itu setara 57 persen Serawak dan menjadi koridor terbesar di negeri tersebut. Proyek ini berada di bawah "Ninth Malaysian Plan" atau Rencana Malaysia Ke-9 (9MP) yang diusung oleh pemerintah federal. Malaysia sudah memperkirakan keuntungan dari membangun proyek raksasa ini. Pada tahun 2030, GDP Serawak akan melejit lima kali dari RM23 miliar ke RM 118 miliar. Pertumbuhannya meningkat ke tujuh persen dari lima persen per tahun yang ada saat ini. Yang tak kalah penting, proyek ini berorientasi sebagai pemasok energi negeri Malaysia. dengan mengolah sumber energi yang berupa tenaga air 20.000 MW, deposit batubara 1,46 miliar metrik ton, dan deposit gas 40,9 triliun kaki kubik. Kawasan Kalimantan Utara yang menjadi wilayah negara Malaysia terbagi dalam kawasan Kucing di bagian barat, Serawak di tengah, serta Sabah di bagian timur. Sepanjang perbatasan itu bertetangga dengan negara RI di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur. "Pemerintah harus cermat, karena saat ini kedaulatan energi kita sedang terancam, 86 persen sumur eksploitasi minyak dan gas bumi kita dikuasai oleh perusahaan transnasional," kata Chalid. Ia juga mengingatkan sejak 10 tahun lalu Indonesia telah sepakat membangun "Trans ASEAN Pipeline" untuk gas bumi, dan trans ASEAN untuk listrik.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008