Brisbane (ANTARA News) - Momen bersejarah bagi rakyat Kosovo menyusul deklarasi kemerdekaan oleh parlemen wilayah itu 17 Februari lalu akhirnya tiba juga. Momen yang ditunggu-tunggu itu tiada lain adalah datangnya pengakuan diplomatik internasional atas kemerdekaan wilayah di sebelah tenggara Eropa yang berpenduduk mayoritas etnis Albania dan telah lama menjadi provinsi Serbia itu. Setelah Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush menunjukkan dukungannya pada kemerdekaan Kosovo dalam sebuah wawancara dengan Stasiun Televisi NBC dari Arusha, Tanzania, awal pekan ini, Australia pun memberikan pengakuan resmi. Sebagai "kekuatan menengah" dalam percaturan politik global, Australia masuk dalam daftar negara-negara yang paling awal mengakui kemerdekaan Kosovo. Beberapa negara lain yang telah mengakui deklarasi kemerdekaan wilayah yang didera konflik berdarah pada akhir 1990-an itu adalah AS, Albania, Inggris, Perancis, Jerman, dan Turki. Sehari sebelum Menteri Luar Negeri Australia, Stephen Smith mengumumkan dukungan resmi dan kesiapan membangun hubungan diplomatik dengan Pristina, Perdana Menteri Kevin Rudd, Senin (18/2), sudah pun mengindikasikan sikap Canberra itu. PM Rudd menyebut deklarasi kemerdekaan sepihak yang ditentang keras Serbia, Rusia, dan China itu dipandangnya sebagai satu "langkah tepat". Bahkan ia menegaskan janji pemerintahnya untuk memberikan pengakuan diplomatik pada kesempatan pertama. Argumentasi utama Canberra tidak terlepas dari sejarah kelabu rakyat Kosovo di bawah kekuasaan Serbia pada era pemerintahan Presiden Slobodan Milosevic. Bagi PM Rudd, sejarah Kosovo yang kelabu itu mendorong Australia untuk melakukan apa pun yang ia bisa lakukan guna memastikan rakyat Kosovo terlindungi saat melangkah ke masa depannya. "Ini adalah langkah aksi yang tepat. Karenanya secara diplomatik, kami akan memberikan pengakuan pada kesempatan pertama," katanya. Di beberapa kota utama Australia, kelompok masyarakat keturunan Serbia dan Albania menyikapi perkembangan di Kosovo secara berbeda. Presiden Perhimpunan Kesejahteraan Serbia Ortodoks (SOWA) New South Wales, Marko Marinkovich, seperti dikutip ABC, tegas menolak deklarasi kemerdekaan Kosovo dan bertekad mencari cara untuk menyalurkan aspirasi penolakan mereka itu. Sebaliknya, warga masyarakat keturunan Albania, terutama di kota Melbourne yang menjadi kantong terbesar para migran Albania Australia, merayakan momen bersejarah itu. Australia secara resmi mengakui Republik Kosovo sebagai negara merdeka sejak Selasa (19/2) ditandai dengan keluarnya pernyataan pers Menlu Stephen Smith. Dalam pernyataannya itu, Menlu Smith menggarisbawahi sikap Australia yang "menghormati keputusan rakyat Kosovo, sinyal dukungan yang telah ditunjukkan AS dan Inggris pada kedaulatan baru Kovoso". "Sejumlah negara lain juga diharapkan segera memberikan dukungan yang sama," katanya. Sejarah kelabu rakyat Kosovo dan terjalnya jalan menuju perdamaian sejak pecah konflik berdarah di akhir tahun 1990-an menjadi alasan Canberra untuk segera memberikan pengakuan diplomatik. Kerja keras PBB dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sejak 1999 untuk membantu rakyat Kosovo membangun kembali kehidupannya maupun berdirinya lembaga-lembaga mandiri di sana juga menjadi pendorong Canberra untuk segera bersikap. Dalam pandangan Australia, tentu banyak pekerjaan rumah yang masih harus dirampungkan komunitas internasional, khususnya PBB dan Uni Eropa, untuk memastikan langgengnya upaya membangun masa depan perdamaian di Kosovo dan di kawasan Eropa pada umumnya. Namun, terlepas dari pekerjaan rumah yang masih tersisa itu, apa yang diinginkan Canberra dari pemerintahan Kosovo merdeka adalah adanya kepastian hak dan keamanan bagi masyarakat minoritas serta adanya perlindungan terhadap warisan-warisan budaya di sana. Kedua hal ini dipandang Australia sebagai prioritas utama Kosovo. Selain itu, jurang perbedaan politik yang masih menganga antara Kosovo dan Serbia juga diminta Australia agar diselesaikan secara damai oleh para pemimpin kedua negara. Pemerintah Serbia pun diharapkan tetap mau bekerja sama dengan negara-negara di Eropa dan negara-negara mitra lainnya demi stabilitas dan pembangunan ekonomi di kawasan itu, kata Menlu Smith. Kritik PBB Dukungan politik yang diberikan Canberra kepada Kosovo ini bukan tanpa kritik di dalam negeri Australia, mengingat langkah itu diambil dengan mengabaikan PBB sebagai pilar kedua yang menopang perumusan kebijakan luar negerinya. Menlu Smith dalam satu kesempatan pernah menegaskan tekad Australia untuk bekerja sama secara aktif dengan komunitas internasional dalam merespon tantangan bersama dan mencari solusi atas isu-isu pelik dunia. Pilar pertama adalah aliansi Australia dengan AS sedangkan pilar ketiga adalah kawasan Asia Pasifik. Menanggapi keputusan Canberra ini, pakar politik internasional dari Universitas Nasional Australia (ANU) Michael McKinley seperti dikutip ABC mengatakan, langkah tersebut jelas-jelas menepikan peranan PBB. Langkah Canberra itu juga bisa saja mendorong negara-negara yang menentang deklarasi kemerdekaan Kosovo, seperti Rusia, China, Rumania, dan Spanyol karena khawatir masalah Kosovo, akan menjadi preseden dalam tatanan global untuk "menepikan" Australia. Idealnya, Australia baru bersikap setelah ada keputusan Dewan Keamanan PBB tentang pengakuan atas kemerdekaan Kosovo. Dalam pandangan McKinley, keputusan pemerintahan PM Rudd ini cenderung lebih didorong oleh sikap AS daripada komitmennya pada PBB. Keputusan Canberra itu juga didorong oleh nilai dasar "fair go" yang menjadi pedoman pemerintahan Partai Buruh pimpinan PM Rudd dalam membangun hubungan domestik dan luar negerinya. Nilai dasar "fair go" ini bertumpu pada "sivilitas", "rasa menghargai" dan "harga diri". Dalam konteks ini, seperti pernah dikatakan Menlu Smith dalam satu acara di Canberra, Desember 2007, Australia akan mengulurkan tangan kepada "mereka yang kurang beruntung dan siap sedia untuk mereka". Akankah dukungan diplomatik Australia dan negara-negara sekutunya itu benar-benar akan mengakhiri "status Kosovo" dan, seperti yang diyakini Presiden AS, George W.Bush, akan menghapus hak moral Serbia untuk terus menguasai rakyat Kosovo yang telah banyak menderita di masa pemerintahan Slobodan Milosevic? Ditilik dari sikap Presiden Serbia, Boris Tadic, yang keras dengan janji tidak pernah mengakui kemerdekaan Kosovo, langkahnya menarik duta besarnya dari AS, serta penolakan dua negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB (Rusia dan China), maka solusi paripurna atas masalah Kosovo masih jauh dari rampung. (*)

Oleh Oleh Rahmad Nasution
Copyright © ANTARA 2008