Brisbane (ANTARA News) - Fenomena kehadiran "diaspora" atau komunitas yang menetap di negara asing namun tetap menjalin hubungan dengan negara asal, semakin berkembang, mengental dan menguat di era globalisasi ini dengan beragam implikasi yang menyertainya. Pendapat itu disampaikan Peneliti Lembaga Kajian Kebijakan Internasional "Lowy Institute" Australia, Dr. Michael Fullilove, dalam laporan risetnya berjudul "World Wide Webs: Diasporas and the International System" yang dipublikasi Senin. Peneliti yang mengkaji fenomena diaspora asal Irlandia, Italia, China, Meksiko, India, Rusia, Filipina, Yahudi, Turki, Maroko, Kuba, Australia, dan Israel ini mendapati berbagai komunitas tersebut membawa implikasi ekonomi, identitas, politik dan keamanan. "Para diaspora ini terbukti semakin membesar, menebal, dan menguat. Konsistensi perubahannya pun sangat jelas. Kesadaran diaspora juga meningkat di antara beragam masyarakat, mulai dari orang-orang Italia sampai orang-orang Indonesia," kata Michael. Peneliti dari lembaga yang berbasis di Sydney itu lebih lanjut mengatakan para diaspora merupakan kelompok masyarakat yang mumpuni dalam mengorganisir diri dan mau belajar satu sama lain. Kemampuan mengorganisir diri maupun mau belajar satu sama lain itu antara lain dapat dilihat dari komunitas Selandia Baru dan orang-orang Amerika keturunan India dan Yahudi, kata direktur program isu-isu global Institut Lowy itu. Mengenai keterkaitan negara atau kota asal dan para diasporanya, Michael mengatakan, fenomena ini dapat dilihat dari hubungan kuat New Delhi (India), Ankara (Turki), dan Beijing (China) dengan warga mereka di luar negeri. Dalam kasus China misalnya, para diasporanya tampak lebih tertarik dengan identitas kecinaannya dan Beijing pun lebih tertarik pada kehadiran mereka. Bahkan, Beijing pun mengumpulkan informasi dari mereka dan memberi mereka perlindungan kekonsuleran. "Dari perspektif keamanan, Departemen Pertahanan Inggris pernah mengatakan para diaspora juga merupakan medium penyampai beragam risiko sosial, seperti kejahatan lintas negara, spionase, kekerasan antar-masyarakat maupun terorisme," katanya. Namun, selain dapat mengancam keamanan, para diaspora itu juga bisa membantu proses perdamaian. Kedua hal ini dilakukan komunitas Irlandia Amerika dan Tamil di luar negeri, katanya. Dalam studinya itu, Michael mencoba menganalogikan keberadaan para diaspora ini dengan "world wide web" (WWW) atau jejaring informasi dunia yang menyatukan beragam manusia, negara, dan lembaga yang berbeda dengan segala implikasi positif dan negatifnya. Asal Irlandia terbesar Dalam laporan penelitian 195 halamannya itu, Michael memaparkan data tentang jumlah diaspora asal beberapa negara. Ia mencatat jumlah diaspora asal Irlandia merupakan yang terbesar di dunia dengan 70 juta jiwa orang. Mereka terbesar di Inggris, Amerika Serikat (AS), Kanada, Australia dan Amerika Selatan. Posisi Irlandia diikuti Italia dengan 60 juta orang diaspora. Mereka terbesar di AS, Eropa Barat, Amerika Selatan, Kanada, dan Australia; China (33 juta) di kawasan Asia Tenggara, Amerika Utara, Afrika, Pasifik, dan Australia); Meksiko (30 juta di AS), dan India (25 juta di kawasan Teluk, Amerika Utara, Afrika Selatan, Asia Tenggara, Karibia, Afrika Timur dan Fiji); Rusia (25 juta orang di negara-negara sekitar Rusia, AS, Inggris, Eropa Barat, dan Israel); Filipina (8 juta di Amerika Utara, Teluk, Asia Timur dan Eropa); Yahudi (8 juta di AS, Eropa Barat, Kanada, Rusia, Amerika Selatan, dan Australia); Turki (5 juta di Jerman, Perancis, Belanda, Austria, Belgia, Inggris, AS, dan Australia), Maroko (2,5-3,5 juta di Eropa Barat, Amerika Utara, dan Israel); Kuba (1,5 juta di AS); Australia (1 juta di Inggris, Irlandia, Eropa Barat, Asia Utara, Amerika Utara, dan Asia Tenggara); serta Israel (500 ribu - 750 ribu orang di Amerika Utara, Eropa, Australia dan Afrika Selatan). Diaspora asal Indonesia tidak tercatat dalam hasil kajian Dr. Michael Fullilove itu. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008