Jakarta (ANTARA) - Indonesia for Global Justice (IGJ) meminta pemerintah benar-benar mencermati isu perdagangan jasa digital global agar jangan sampai regulasi terkait hal itu hanya menguntungkan segelintir negara apalagi hingga merugikan Indonesia.
"Isu perdagangan digital masih perlu dielaborasi secara seksama untung ruginya, khususnya bagi negara berkembang," kata Direktur Eksekutif IGJ Rachmi Hertanti di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, saat ini perundingan terkait isu perdagangan digital masih belum memiliki level playing field yang sama antarnegara.
Apalagi, ia berpendapat bahwa skema perundingan pada saat ini dinilai memang sengaja didorong oleh negara maju untuk memaksa negara berkembang ikut serta dalam pembahasannya.
"Sehingga negara maju akan dengan mudah melakukan trade-off dengan kepentingan negara berkembang," katanya.
Direktur Eksekutif IGJ juga menyatakan, proposal Jepang, AS, dan China tentang Osaka Track dalam isu digital ekonomi yang disampaikan pada 28 Juni 2019 di KTT G20 kemarin harus ditolak oleh Indonesia.
Hal itu, ujar dia, karena ketiga negara maju tersebut mendesak agar pembahasan perjanjian perdagangan digital dilakukan dalam skema perjanjian plurilateral yang akan merugikan kepentingan anggota negara berkembang.
"Desakan AS, Jepang, dan China untuk membahas perjanjian digital trade di WTO dengan skema plurilateral sama saja mengkhianati multilateralisme. Negara maju inginnya fast track dengan kepentingannya sendiri dalam memasukan pembahasan isu baru, tetapi meninggalkan apa yang menjadi isu penting dalam Agenda Doha untuk kepentingan negara berkembang," ujar Rachmi.
Lebih lanjut dia menjelaskan, bahwa sebagian besar negara berkembang, termasuk India, Afrika, dan Indonesia, secara konsisten menuntut agar negosiasi tentang perdagangan elektronik atau digital harus dilakukan berdasarkan pengambilan keputusan berdasarkan konsensus.
Sebelumnya, pengamat ekonomi Fithra Faisal menekankan bahwa kolaborasi antarlini penting bagi pengembangan ekonomi digital di Indonesia, yang saat ini masih kurang terbangun.
Dosen ekonomi Universitas Indonesia itu menyarankan pemerintah membangun kolaborasi dengan berbagai pihak, seperti swasta, lembaga pendidikan, hingga komunitas untuk perkembangan ekonomi digital Indonesia ke depannya.
"Selama ini, kalau kita bicara kolaborasi, jangankan antarlini, kolaborasi kementerian saja masih kurang dengan ego sektoralnya," kata Fithra saat dihubungi ANTARA, Sabtu (29/6).
Dia kemudian mencontohkan salah satu pelaku startup lokal di Depok yang telah mampu memberdayakan petani kecil, namun memiliki ruang lingkup terbatas karena tidak adanya kolaborasi dari pemerintah maupun lembaga pendidikan.
Dia mengatakan apabila kolaborasi antarempat lini utama tersebut terbangun dengan baik, bukan tidak mungkin nantinya akan muncul Silicon Valley Indonesia.
"Apa yang membuat Silicon Valley di Amerika diminati oleh para investor dan para inovator, karena mereka bukan hanya memiliki infrastruktur saja, tapi mereka memiliki kolaborasi," ujarnya.
Baca juga: IGJ: Dua aspek lemahkan Indonesia dalam perdagangan internasional
Baca juga: Indonesia perlu strategi berdayakan industri lokal ke tingkat global
Baca juga: IGJ: Reformasi WTO ditengarai masih soal dominasi AS lawan China
Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019