Jakarta (ANTARA News) - Perlakuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tidak menahan mantan Gubernur Riau, Saleh Djasit, yang telah dijadikan tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana mobil pemadam kebakaran, dinilai di luar kebiasaan. "Mudah-mudahan ada maksud lain yang tidak mau diceritakan oleh KPK. Tetapi orang menjadi bertanya-tanya mengapa tidak ditahan, ini berbeda perlakuannya dengan pejabat lain yang sudah ditetapkan menjadi tersangka dan ditahan," kata pengamat masalah hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Gandjar Laksmana, di Jakarta, Senin. Menurut dia, penahanan memang bukan prosedur baku yang harus dilakukan KPK setelah menetapkan seseorang menjadi tersangka. Tetapi persoalannya, katanya, selama ini telah menjadi kebiasaan KPK untuk selalu melakukan penahanan terhadap mereka yang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Penahanan itu dilakukan untuk menghindari berbagai hal yang diduga bisa merintangi penyidikan. Ia mencontohkan dalam kasus Bank Indonesia, dua dari tiga tersangkanya langsung ditahan pada pemeriksaan kedua. Mengenai tidak ditahannya Saleh Djasit, Gandjar berpendapat, sebaiknya semua pihak berprasangka baik, karena mungkin saja KPK memiliki "grand desain" untuk "membidik" calon tersangka lainnya dalam kasus tersebut. "KPK mungkin tidak menginginkan "jaringan"-nya lepas, termasuk kroni atau `konco-konco`-nya," kata dosen hukum pidana FHUI tersebut. Mengenai beredarnya isu bahwa KPK akan menghentikan kasus tersebut dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), Gandjar menolak kemungkinan ini karena Undang-undang KPK telah jelas melarang hal itu. Saleh, yang kini menjabat anggota Komisi VII DPR, sudah ditetapkan sebagai tersangka, namun hingga kini belum ditahan oleh KPK meski telah empat kali menjalani pemeriksaan. Juru bicara KPK, Johan Budi, beberapa waktu lalu menjelaskan penyidik merasa belum perlu menahan Saleh, karena masih berniat mengembangkan kasus tersebut. Saleh dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus pengadaan alat berat pemadam kebakaran di Provisi Riau, semasa menjabat sebagai Gubernur Riau periode 1999-2003. Ia diduga telah menggelembungkan harga mobil pemadam kebakaran. KPK menduga telah terjadi kerugian negara sebesar Rp4,5 miliar dalam pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran di Riau. Nilai total pengadaan tersebut adalah Rp15,2 miliar. Dalam kasus itu KPK telah memeriksa beberapa saksi, antara lain Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal, Lukman Edy, dan Bupati Indragiri Hilir, Indra Muklis Adnan. Keduanya diperiksa dalam kapasitasnya sebagai mantan anggota Panitia Anggaran DPRD Riau. (*)

Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008