Denpasar (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Bali akan menyiapkan jaring pengaman sosial terkait dengan rencana melegalisasi industri arak sebagai salah satu produk budaya hasil fermentasi khas Pulau Dewata.
"Bali itu sebagai daerah pariwisata, tentu harus ada produk budaya daerah yang memang diwariskan secara turun-temurun sebagai 'heritage' lokal Bali yang bisa diperkenalkan ke mancanegara melalui pariwisata dunia, dan itu diantaranya dengan arak Bali," kata Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Bali I Putu Astawa, di Denpasar, Selasa.
Astawa mengemukakan dari proses pembuatan arak Bali sesungguhnya merupakan produk budaya mulai dari mencari nira yang berasal pohon kelapa, enau, dan siwalan. Itu kemudian diproses oleh para perajin yang sentranya ada di lima kecamatan di Kabupaten Karangasem, diantaranya di Kecamatan Sidemen, Bebandem dan tiga kecamatan lainnya.
"Di Karangasem, produksi arak Bali melibatkan sekitar 910 kepala keluarga dengan mempekerjakan 1.800-an orang. Selain itu, 90 persen UMKM di Karangasem menjadi perajin arak," ucapnya.
Astawa menegaskan terkait rencana legalisasi arak Bali bukan semata-mata untuk kepentingan ekonomi, tujuan utamanya untuk menonjolkan produk budaya tradisional "heritage" fermentasi khas Bali.
"Ya tentunya nanti harus diperbaiki dari sisi kemasan atau kualitas tampilan sehingga sebanding dengan produk-produk minuman beralkohol yang berasal dari luar negeri. Kalau dari sisi mutu sesungguhnya arak Bali sudah bagus sekali, tinggal dicarikan segmen mungkin yang ingin kadar alkoholnya lebih rendah atau lebih tinggi," kata mantan Kepala Bappeda Litbang Provinsi Bali itu.
Selain menonjolkan sisi budaya, tambah Astawa, Gubernur Bali Wayan Koster berkeinginan melegalisasi arak karena Karangasem juga menjadi fokus perhatian Pemerintah Provinsi Bali dengan tingkat kemiskinan lebih dari enam persen, yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata angka kemiskinan Bali sekitar 4,01 persen.
"Demikian juga dari sisi ketimpangan pembangunan, Karangasem agak terbelakang sedikit, sehingga menjadi fokus Pemprov Bali juga karena 90 persen UMKM di Karangasem menjadi perajin arak yang harus diperhatikan kesejahteraannya. Itu sebenarnya hal-hal yang mendasari Bapak Gubernur melegalkan arak," ujarnya.
Terkait jaring pengaman sosial agar penjualan arak Bali nanti tidak disalahgunakan, para perajin akan dilembagakan dalam bentuk koperasi ataupun asosiasi. Setelah kelembagaan dibentuk, nanti pembinaan produksinya dari sisi kualitas dan kemasannya agar bagus dari Dinas Perdagangan dan Perindustrian.
"Setelah produk jadi, pasarnya ditangani oleh Perusda Bali. Dengan demikian, alur perjalanannya dari produksi sampai distribusi arak akan ketahuan, sehingga tidak sampai disalahgunakan konsumsinya," katanya.
Pemerintah Provinsi Bali hingga saat ini masih menunggu untuk proses revisi Peraturan Presiden yang di dalamnya mengatur produksi minuman beralkohol tradisional yang sebelumnya kategori "negatif list" menjadi "positif list".
"Ketika Perpres tersebut belum direvisi, maka belum memberikan peluang untuk memperoleh izin produksi. Tak hanya Bali yang mengajukan pencabutan dari negatif list tersebut, ada Sulawesi Utara, Kupang dan Maluku yang juga ingin mengangkat minuman tradisionalnya," ucapnya.
Menko Perekonomian beserta sejumlah kementerian terkait hingga saat ini masih sedang membuat kajian ke Presiden agar berkenan merevisi Perpres tersebut. "Sambil jalan menunggu kajiannya sampai ke Presiden, tentu kita perlu menyiapkan mekanisme tata niaganya, produksinya, sehingga bisa jalan simultan," ujar Astawa.
Di tengah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali yang rata-rata enam juta dalam setahun, kata Astawa, menjadi salah satu peluang pasar produksi arak Bali karena mereka memang terbiasa meminum minuman beralkohol, selain dicampur dengan coctail.
"Kalau di Jepang ada sake, di Korea ada soju, kita di Bali memiliki arak Bali yang bisa diperkenalkan ke dunia internasional. Sasarannya di Bali dulu, tidak muluk-muluk untuk ekspor, apalagi dengan jumlah hotel yang mencapai sekitar 4.000 lebih sudah menjadi peluang pasar yang bagus," kata Astawa.***1***
Pewarta: Ni Luh Rhismawati
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2019