Oleh Aditia MaruliJakarta (ANTARA News) - Lola Edwards, seorang perempuan aborigin, terisak saat mendengar kabar bahwa Perdana Menteri (PM) Australia, Kevin Rudd, mengucapkan maaf nasional, Rabu (12/2). Lola (61) masih ingat rasa buah berri yang sedang dia kunyah pada hari dia dirampas dari tangan ibunya oleh petugas sosial. "Sampai hari ini, saya masih ingat rasa buah berri itu. Saya pegang baju ibu, dia mengajak saya memetik berri, dan petugas sosial bilang kami akan diajak nonton sirkus," kata Lola kepada Reuters. Sementara itu, Kevin Rudd pada Rabu mengatakan, sekira 50.000 anak-anak aborigin mulai 1880-an hingga 1960-an diambil paksa dari orang tua mereka atas dasar politik asimilasi, dan orang seperti Lola Edwards disebut "Generasi yang Dicuri" atau "orang-orang yang diputihkan". Edwards selama 11 tahun berada di panti anak perempuan, dididik sebagai kulit putih dan selalu menggosok kulitnya agar memutih. Dia baru sadar bahwa dirinya aborigin puluhan tahun kemudian. Suatu hari dia menerima panggilan telepon dari saudara perempuannya, yang dia belum pernah tahu, lalu akhirnya mereka berkumpul dengan sang ibu pada 1980. "Yang saya pikirkan hanya ibunda dan ayah tercinta, yang dulu melepaskan kami dari tangan mereka. Seharusnya, saya marah dan jadi gila, tapi saya tidak. Inilah sejarah Australia, inilah sejarah sebenarnya dari Australia, dan inilah yang terjadi pada saya sebagai salah satu generasi yang dicuri," katanya. Rudd mengucapkan permintaan maaf nasional kepada para Aborigin, dan dia menyebut langkah itu akan "menghilangkan noda besar dari dalam jiwa bangsa Australia". Butuh 11 tahun bagi Pemerintah Australia untuk mengucapkan maaf secara resmi, setelah pada 1997, Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Australia lewat laporannya menyebut politik asimiliasi adalah "usaha genosida (pemusnahan etnik)." Laporan berjudul "Bringing Them Home" itu menyakini orang aborigin akan punah. Laporan itu menyerukan adanya permintaan maaf resmi dari semua Parlemen Australia, nasional maupun negara bagian, termasuk gereja, polisi dan kelompok-kelompok sosial, serta pemberian ganti rugi. Politik asimilasi itu memang buruk, bahkan arsip film menunjukkan para anak perempuan dijajarkan saat para orang tua angkat kulit putih memilih anak sehat dan kuat untuk jadi pembantu rumah tangga, tidak ubahnya memilih budak. Anak laki-laki dikirim ke peternakan terpencil sebagai buruh gratis, dan kalau berbuat tidak menyenangkan, maka ganjarannya adalah ditelanjangi, diikat di tiang halaman lalu dicambuk. Susu diberikan karena ada keyakinan membuat kulit anak aborigin memutih. Komisi HAM itu juga menyebutkan bahwa aborigin yang keluarganya berantakan, punya masalah kejiwaan, terlibat kekerasan, kecanduan narkotika dan obat berbahaya (narkoba), serta minuman keras, ternyata berkaitan langsung dengan politik asimilasi.Tokoh masyarakat aborigin Pat Dodson mengatakan, kini saatnya pemerintah menimbang ganti rugi terhadap para korban. "Semua usaha untuk mengobati masa lalu, termasuk ganti rugi untuk `generasi yang dicuri`, memang harus diusahakan," katanya. "Tapi, biarlah hal itu berlangsung lewat negosiasi dan betul-betul dipertimbangkan, sebagai bagian dari proses yang dibangun secara hati-hati," katanya. Dia mengharapkan, proses itu benar-benar membangun bangsa Australia yang menghargai dan mengakui sejarah, budaya, bahasa, dan masyarakat Aborigin. Saat ini ada sekitar 460.000 orang aborigin, atau dua persen dari 21 juta penduduk Australia. Banyak dari mereka tinggal di pemukiman terpencil dan hidup seperti warga negara miskin, padahal Australia adalah negara maju. Angka kematian bayi aborigin tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan non-aborigin. Harapan hidup pria aborigin lebih pendek 17 tahun dibanding pria kulit putih. Mereka memiliki tingkat lebih tinggi dalam hal pengangguran, narapidana, penyalahgunaan alkohol dan narkoba serta kekerasan rumah tangga. Ganti rugi adalah hal pokok dari pro-kontra "say sorry" Australia. Politikus konservatif bernada keras, Wilson Tuckey, yang berjuluk "si batang besi", keluar dari sidang parlemen sebelum ucapan maaf tersebut. Dia beralasan, hal itu tidak banyak manfaatnya untuk Aborigin. "Besok sudah tidak ada lagi Aborigin yang mengisap bensin, besok gadis-gadis cilik bisa tidur tanpa takut. Semua sudah beres, ucapan Rudd membereskan semuanya," kata Tuckey menyindir. Banyak kulit putih di kota Bourke, bagian barat negara bagian New South Wales, sependapat dengan Tuckey. "Saya pikir, kami tidak perlu minta maaf karena bukan generasi kami yang mencuri mereka," kata seorang perempuan kepada Radio Australia. Beberapa waktu menjelang penyampaian "say sorry", Rudd mengatakan, tidak akan menetapkan dana kompensasi apa pun menyusul tuntutan ganti rugi bagi para korban sebesar satu miliar dolar Australia. "Tujuannya adalah untuk membangun jembatan saling menghormati antara pribumi dan non-pribumi Australia," kata Rudd. Ia menimpali, "Kita bisa menutup jurang dalam hal angka harapan hidup, tingkat pendidikan dan kesehatan."Aborigin, yang merupakan bangsa asli penghuni Benua Australia, pertama kali menyaksikan pemukim pertama bangsa Eropa datang pada tahun 1788. Hari nasional 26 Januari dianggap Aborigin sebagai hari invasi. Selama berabad-abad nasib Aborigin ditentukan kulit putih melalui peraturan flora fauna. Baru pada tahun 1967, Parlemen Australia memberi kewarganegaraan penuh kepada Aborigin sekaligus hukum yang melindungi kepentingan mereka. Bendera Aborigin, yaitu matahari emas dan hitam dengan latar belakang merah menjadi bendera resmi pada 1995. Pada 1999, PM Australia, John Howard, memimpin mosi parlemen untuk "penyesalan" atas ketidakadilan di masa lalu dan menyebut hal itu "bab paling tercela" dalam sejarah Australia. Namun, Howard menolak minta maaf dengan alasan generasi sekarang bukanlah yang bertanggung jawab atas kejadian di masa lalu. Para petinggi Partai Liberal pimpinan Howard juga berpendapat permintaan maaf dapat membuat pemerintah digugat untuk ganti rugi. Langkah Pemerintah Australia itu berlawanan dengan pemerintah tingkat negara bagian. Seluruh enam negara bagian lebih dulu meminta maaf secara resmi kepada Aborigin. Negara bagian Tasmania pekan lalu mengesahkan ganti rugi lima juta dolar Australia bagi 106 aborigin korban "Generasi yang Dicuri". Sebanyak 84 korban masing-masing mendapat 58.000 dolar Australia, sedangkan 22 keturunan mereka masing-masing mendapat 5.000 dolar Australia. Selama ini telah ada beberapa korban "Generasi yang Dicuri" yang menggugat ganti rugi ke pemerintah, tapi hanya sedikit yang berhasil karena sulitnya pembuktian. Gugatan paling berhasil adalah yang dilakukan Bruce Trevorrow. Bulan ini, dia menerima 775.000 dolar Australia dari negara bagian South Australia sebagai ganti rugi atas kejadian 50 tahun lalu ketika dirinya diambil dari rumah sakit tanpa sepengetahuan orang tuanya. Di lain pihak, asosiasi pengacara "Law Society of New South Wales" berpendapat bahwa permohonan maaf tersebut tidak akan memperkuat klaim ganti rugi. Permohonan maaf, seperti yang disampaikan Pemerintah Australia, merupakan langkah yang ditempuh di banyak negara untuk rekonsiliasi. Kanada pada 1998 minta maaf kepada pribumi atas penindasan di masa lalu, termasuk politik asimilasi terhadap Indian dan Inuit. Presiden Afrika Selatan, F.W. de Klerk, pada 1992 minta maaf atas politik apartheid yang mengagungkan kulit putih. Tidak semua negara maju minta maaf kepada bangsa pribumi. Aborigin lebih beruntung dibanding bangsa Indian di Amerika Serikat (AS), karena negara tersebut tidak pernah meminta maaf kepada bangsa Indian maupun budak dari Afrika. AS pada 1988 justru minta maaf atas perlakukan kepada kepada warganya yang keturunan Jepang saat Perang Dunia II, dan menawarkan ganti rugi 20.000 dolar kepada para korban yang masih hidup. "Mahalnya" permohonan maaf mungkin terkait dengan politik dan ganti rugi, namun permohonan maaf adalah sesuatu yang menyembuhkan luka para korban. "Maaf itu memulihkan hati, dan maknanya dalam," kata Rhonda Dixon-Grovenor, aktivis aborigin di kota Redfern, pinggiran Sydney. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008