Dalam Deklarasi Bangkok, para kepala negara anggota ASEAN antara lain sepakat memperkuat aksi di tingkat nasional serta tindakan kolaboratif untuk mencegah dan mengurangi sampah laut secara signifikan, khususnya dari kegiatan berbasis darat, serta mendorong pendekatan darat ke laut yang terintegrasi untuk mencegah dan mengurangi sampah laut.
Mereka juga sepakat memperkuat undang-undang dan peraturan nasional, meningkatkan kerja sama regional dan internasional, serta meningkatkan koordinasi multipihak dan kerja sama untuk memerangi sampah laut.
Selain itu, para kepala negara ASEAN sepakat mempromosikan keterlibatan sektor swasta dalam upaya mencegah dan mengurangi sampah laut, mempromosikan solusi inovatif untuk meningkatkan nilai plastik, memperkuat kapasitas penelitian dan penerapan pengetahuan ilmiah untuk memerangi sampah laut, serta mempercepat advokasi dan tindakan untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam upaya mengurangi sampah laut.
Beberapa aktivis dan organisasi lingkungan melihat Deklarasi Bangkok masih bercelah karena tidak memuat klausul tegas mengenai penolakan terhadap impor sampah plastik dari negara-negara maju.
"Dalam Deklarasi Bangkok, saya lihat tidak ada kesepakatan menolak impor sampah plastik," kata Manajer Kampanye Perkotaan dan Energi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Dwi Sawung.
Ia mengatakan, selama ini kebanyakan negara, termasuk yang berada di kawasan ASEAN, menganggap sampah plastik sebagai dampak aktivitas dalam negeri. Sebagai negara terbesar kedua penghasil sampah plastik setelah China, Indonesia pun masih demikian.
Kenyataannya ada kegiatan impor sampah plastik dari negara maju, yang tentunya menambah volume sampah plastik domestik.
Sawung mengatakan bahwa negara seperti Malaysia dan Filipina sudah menyatakan menolak tegas impor sampah plastik, dan Thailand mengarahkan kebijakannya ke sana.
Mestinya, menurut dia, Indonesia juga menunjukkan ketegasan dalam hal impor sampah plastik setelah masuknya sampah impor ke Batam beberapa waktu lalu.
Jalan Masuk Plastik
Sampah impor tidak hanya masuk ke Batam, tapi juga ke daerah Indonesia yang lain menurut Ecological Observations and Wetlands Conversation (Ecoton).
Ecoton menemukan sampah plastik dalam berbagai bentuk dan merek, mulai botol, saset, kemasan makanan, kemasan produk perawatan tubuh, dan kemasan produk rumah tangga produksi negara-negara maju di satu pabrik kertas di Gresik, Jawa Timur.
Direktur Eksekutif Ecoton Prigi Arisandi menjelaskan sampah plastik dari negara-negara maju masuk bersamaan dengan limbah kertas yang diimpor oleh pabrik kertas sebagai bahan baku kertas.
Di Indonesia, Ecoton mencatat, setidaknya ada 55 industri kertas dan 22 di antaranya ada di Jawa Timur. "Delapan puluh persen menggunakan bahan baku sampah kertas atau impor," kata Prigi.
Karena dibutuhkan industri, limbah kertas masuk dalam kategori komoditas yang bebas masuk tanpa melalui kontrol Bea Cukai, menjadi celah masuk bagi limbah plastik impor.
Hasil investigasi Ecoton menunjukkan 12 industri kertas menyalurkan sampah plastik impor itu ke masyarakat sekitar untuk dipilah. Di antara sampah impor industri kertas yang dipilah, ada beragam kemasan produk dari negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada, dan Eropa.
Warga yang memilah sampah impor tersebut menyalurkan sampah yang bisa didaur ulang ke industri plastik, dan remah-remah plastik yang tidak bisa didaur ulang ke industri tahu, yang menggunakannya sebagai bahan bakar.
Masyarakat sekitar merasa mendapat manfaat dari aktivitas itu karena mendapat keuntungan jangka pendek. Mereka tidak memperhitungkan dampak pencemaran limbah plastik berlanjut ke lingkungan mereka pada masa mendatang.
Dampak Pengalihan Sasaran
Problem impor sampah yang dihadapi negara-negara berkembang tidak lepas dari kebijakan China memperketat impor sampah, yang membuat sampah dari negara-negara maju kemudian meluber ke negara-negara berkembang.
Researcher-toxic Program Officer BaliFokus/Nexus3 Sonia Buftheim mengatakan China sebelumnya merupakan negara tujuan ekspor limbah plastik dan kertas, menyerap 56 persen lebih dari total perdagangan limbah (plastik dan kertas).
Sebelumnya, Amerika Serikat mengirimkan 60 persen limbahnya ke China, dan negara-negara Uni Eropa mengirimkan lebih dari 70 persen ke negara itu. Namun tahun 2018 pemerintah China mulai membatasi impor sampahnya.
"Rasanya perlu ada penguatan kebijakan regional mengingat setelah China enggak mau menerima sampah plastik lagi, negara-negara Asia Tenggara menjadi sasaran tujuan pembuangan sampah-sampah negara maju," kata Sonia Buftheim.
Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) yang meliputi organisasi lingkungan Ecoton, Walhi, BaliFokus/Nexus3, ICEL, Komunitas Nol Sampah, dan Greenpeace Indonesia juga menyeru pemerintah membuat regulasi untuk menyetop impor sampah plastik dari negara-negara maju.
Dwi Sawung mengatakan Pemerintah Indonesia harus menindaklanjuti komitmen pada kesepakatan regional dan internasional mengenai lingkungan dengan aksi nyata.
"Banyak program nasional dan regional terkait sampah plastik dan lautan yang telah atau sedang dibuat, dikoordinasikan, dan diikuti oleh Indonesia, tetapi tidak jelas implementasinya dalam program pembangunan nasional. Presiden harus memastikan semua stafnya bekerja dengan benar," kata Dwi Sawung.
Para pegiat lingkungan menanti aksi presiden dan wakil presiden terpilih, Joko Widodo dan Ma'ruf Amin, menindaklanjuti kesepakatan regional untuk mengatasi masalah sampah, antara lain dengan memperkuat regulasi guna menghentikan impor sampah plastik.
Baca juga: Walhi: Deklarasi Bangkok tak tegas tolak impor sampah
Baca juga: Para pemimpin ASEAN sahkan Deklarasi Bangkok tentang Sampah Laut
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2019