Brisbane (ANTARA News) - Rabu 13 Februari 2008, Australia menapak sejarah baru sebagai sebuah bangsa. Sejarah baru itu dibuat Perdana Menteri Kevin Rudd tepat pada hari ke-72 dia resmi berkuasa.
Momentum bersejarah bagi bangsa Australia yang telah lama dinanti penduduk Aborigin selaku kelompok masyarakat pribumi jauh sebelum orang-orang Inggris tiba di bumi Benua Australia itu, tidak lain adalah sebuah permintaan maaf atas kekeliruan di masa lalu.
Atas nama pemerintah dan parlemen Australia, PM Kevin Rudd menyampaikan permintaan maaf resmi kepada penduduk pribumi Aborigin atas kebijakan "generasi yang terampas" yang dipandangkan sebagai sebuah kekeliruan besar pada hari kedua masa persidangan ke-42 Parlemen Australia di Canberra.
Dia menyebut permintaan maaf ("say sorry") itu sebagai upaya "menghilangkan noda besar dari dalam jiwa bangsa Australia".
Momentum bersejarah itu disaksikan jutaan pasang mata warga Australia dari kalangan Aborigin, kulit putih, maupun kulit berwarna di seluruh negeri melalui siaran langsung Stasiun TV ABC, Channel Nine, Channel Seven dan SBS.
Ratusan warga Aborigin dan kulit putih Australia menyaksikan langsung peristiwa tersebut secara langsung dari bangku-bangku di balkon dalam ruang maupun luar gedung Parlemen di Canberra melalui beberapa televisi layar lebar.
PM Rudd setidaknya tiga kali menyampaikan permintaan maaf dalam pidatonya selama hampir setengah jam yang disambut tepukan tangan dan tetesan air mata haru banyak warga Australia itu.
Parlemen, kata Rudd, meminta maaf atas produk-produk hukum dan kebijakannya yang telah menyebabkan luka, penderitaan, dan kehilangan mendalam bagi orang-orang Australia yang tercuri di masa lalu.
"Atas kepedihan, penderitaan dan luka para generasi yang terampas ini, anak cucu dan keluarga yang mereka tinggalkan, kami minta maaf."
"Kepada para ibu dan ayah, abang dan kakak, serta keluarga dan masyarakat yang tercerai berai, kami minta maaf."
"Dan terhadap penghinaan dan kemunduran yang terjadi pada orang-orang dan kebudayaan yang membanggakan, kami minta maaf," kata Rudd.
Parlemen Australia berharap permintaan maaf ini dapat diterima sebagai bagian dari upaya "penyembuhan bangsa".
Lembaran baru sejarah bangsa Australia pun kini bisa ditulis. "Hari ini kami mengambil langkah pertama dengan mengakui masa lalu dan meletakkan klaim untuk masa depan yang merangkul seluruh (elemen) bangsa Australia," katanya.
Masa Depan
Masa depan yang diinginkan itu adalah masa depan di mana seluruh warga Australia -- apapun asal-usulnya -- merupakan mitra setara yang sejati dan mendapat peluang yang sama dalam "membentuk bab baru sejarah bangsa Australia yang agung".
Bagi para generasi yang terampas, sama sekali tidak dikenal sistim nilai "fair go" yang dianut Australia namun dengan permintaan maaf ini diharapkan terbuka "era baru dalam sejarah Australia", katanya.
Menanggapi langkah pemerintah, Pemimpin Oposisi Brendan Nelson mengingatkan tentang aksi penghakiman masa lalu dengan menggunakan standar masa kini dengan mengatakan "setiap kita memiliki tugas untuk memahami apa yang telah dilakukan atas nama kita".
"Tanggungjawab kita, masing-masing dari kita, adalah memahami apa yang terjadi di sini. Generasi kita tidak melakukan aksi-aksi ini. Jadi tidak semestinya merasa bersalah atas apa yang telah dilakukan...," katanya.
Baik PM Rudd dan Nelson membacakan sekelumit tentang kisah anak-anak dari generasi yang tercuri dalam pidatonya di depan sidang parlemen Rabu pagi itu.
Namun berbeda dengan PM Rudd yang menampilkan cerita yang mengharukan dan penuh empati sehingga pantas bagi pemerintah dan parlemen Australia untuk meminta maaf kepada para generasi yang tercuri itu, Nelson justru sebaliknya.
Mengisahkan sepenggal cerita tentang seorang anak perempuan Aborigin yang dipisahkan dari ayahnya, Nelson mengatakan, anak perempuan itu tidak ingin orang meminta "maaf" kepadanya.
Apa yang justru lebih diinginkannya adalah orang-orang memahami kepedihan mendalam dirinya akibat pemisahan tersebut, kata pemimpin Partai Liberal yang dikalahkan kubu PM Rudd dalam Pemilu 24 November 2007 lalu itu.
Permintaan maaf PM Rudd di ruang sidang parlemen itu disambut banyak tokoh masyarakat Aborigin. Patrick Dodson, pemimpin masyarakat Aborigin yang juga mantan ketua Dewan Rekonsiliasi Aborigin (CAR) termasuk di antara mereka yang secara tegas mendukung langkah bersejarah PM Rudd itu.
Dodson yang tampil sebagai pembicara tamu "National Press Club" Australia menyebut momen bersejarah itu sebagai "kesempatan bagi kebangkitan bangsa".
Generasi yang terampas (stolen generations) itu adalah anak-anak Aborigin dan Torres Strait Islander yang diambil paksa badan-badan pemerintah Australia maupun misi gereja dari keluarga-keluarga mereka atas persetujuan parlemen di masa lalu.
Setidaknya 100 ribu orang anak Aborigin menjadi korban kebijakan keliru Australia di masa lalu ini.
Menurut literatur, kebijakan yang menyangkal hak-hak orangtua warga pribumi atas anak-anak mereka dan menempatkan anak-anak mereka berada di bawah perwalian negara itu berlaku antara tahun 1869 dan 1969.
Para generasi yang terampas itu umumnya tinggal di panti-panti asuhan dan lembaga-lembaga milik pemerintah. Masalah "stolen generations" ini tidak lagi menggelinding sebatas isu domestik Australia tahun 1997 tetapi mulai mendapat sorotan dunia saat Sydney menjadi tuan rumah Olimpiade tahun 2000.
"Welcome to Country"
Sehari sebelum permintaan maaf itu disampaikan PM Rudd, sejarah baru bagi rakyat Aborigin sudah terjadi di dalam gedung Parlemen Australia di mana untuk pertama kalinya, pembukaan sidang ke-42 parlemen federal negara itu dilakukan dengan acara penyambutan secara tradisi Aborigin.
Acara penyambutan yang disebut "Welcome to Country" itu antara lain ditandai dengan pertunjukan seni oleh sejumlah pemain didgeridoo dan kerang (alat tiup tradisional Aborigin), tarian oleh sekelompok perempuan, dan penyerahan tongkat pesan komunikasi rakyat Aborigin kepada PM Rudd oleh Ngambri elder Matilda House-Williams.
Tokoh wanita Aborigin itu menyebut "Welcome to Country" (Selamat Datang ke Negara) di gedung Parlemen Australia tersebut sebagai simbol utama bagi harapan lahirnya sebuah bangsa yang bersatu melalui rekonsiliasi.
"`Welcome to Country` ini mengakui kehadiran rakyat kami dan memberikan penghormatan kepada para leluhur kami yang telah menciptakan tanah. Dalam melakukan ini, perdana menteri menunjukkan bahwa kami meminta pehghormatan yang pantas bagi kami, bagi para anggota parlemen, dan bagi seluruh rakyat Australia," kata Matilda.
Saat ini, terdapat lebih dari 400 ribu warga Aborigin dari 21 juta jiwa penduduk Australia. Mereka menempati semua wilayah di benua itu namun konsentrasi terbesar warga pribumi Australia ini berada di negara bagian Queensland.
Selama 11 setengah tahun pemerintahan PM John Howard, upaya perbaikan taraf hidup masyarakat Aborigin bukan tidak dilakukan. Namun, jurang sosial, ekonomi, kesehatan, dan pendidikan antara kelompok masyarakat Aborigin dan masyarakat Australia yang lain tetap besar.
Bahkan, aksi kekerasan fisik dan seksual dalam rumah tangga menjadi salah satu persoalan pelik. Kondisi ini diakui mantan Menteri Urusan Keluarga, Pelayanan Masyarakat, dan Komunitas Pribumi Australia, Mal Brough (menteri di era Howard).
Aksi kekerasan yang kerap dilakukan sebagian kaum lelaki terhadap wanita, anak-anak, dan orangtua dalam keluarga-keluarga masyarakat asli Australia antara lain pernah terjadi di Wadeye, Negara Bagian Northern Territory (NT).
Pemerintahan PM Howard dulu meresponsnya dengan program pembangunan "rumah aman" senilai 3,7 juta dolar Australia.
Kekerasan yang dilakukan sebagian anak muda Aborigin terhadap wanita dan kelompok rentan lainnya itu ditengarai Brough terjadi di saat mereka meminta uang untuk membeli obat terlarang.
Sebagai tindak lanjut dari permintaan maaf yang menjadi langkah awal bagi mendorong rekonsiliasi nasional itu, PM Rudd mengatakan, pemerintahnya telah menjanjikan "langkah-langkah praktis".
Masalah perbaikan perumahan bagi warga Aborigin akan mendapat prioritas utama komisi yang akan dipimpin PM Rudd dan Pemimpin Oposisi Brendan Nelson.
Ia pun mendorong kubu oposisi di parlemen untuk bekerja sama menyelesaikan masalah-masalah perumahan bagi warga Aborigin maupun isu-isu tentang perubahan konstitusi sebagai upaya menggerakkan seluruh komponen bangsa merajut masa depan bersama.
Bagaimana kelanjutan langkah bersejarah yang telah diambil PM Rudd pada 13 Februari 2008 akan terjawab seiring dengan perjalanan waktu.
Jika upaya Rudd berhasil, rakyat Australia yang selama berabad-abad "terbelah", akan menapaki sejarah baru kebangsaannya yang lebih gemilang dan berkeadilan.(*)
Oleh Oleh Rahmad Nasution
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008