Jakarta (ANTARA News) - Pandangan matanya berpindah tanpa henti ke setiap gerak-gerik orang yang duduk di sampingnya, orang-orang yang bakal menjadi teman selama penerbangan dari Qatar ke Jakarta.Sorot matanya memperlihatkan bahwa Nurmah, nama orang itu, ingin segera membuka percakapan dengan penumpang yang duduk tepat di sampingnya."Kamu kerja di mana?" begitu akhirnya perempuan asal Pati, Jawa Tengah itu bertanya kepada orang yang ada di sebelahnya. Ray, kawan sepenerbangannya di Qatar Airways itu pun menjawab pertanyaan itu dengan serangkaian penjelasan. Ray adalah seorang pria asal Tabanan, Bali, yang selama delapan bulan terakhir telah bekerja sebagai pembuat roti di kapal pesiar. Bermula dari pengalamannya sebagai karyawan di sebuah hotel di Bali, Ray pun mengadu peruntungannya dengan mendaftar ke kapal pesiar mewah yang beroperasi di perairan Italia. "Gajinya lumayan, 700 euro per bulan ditambah berbagai tunjangan dan tiket pesawat untuk pulang-pergi ke Indonesia setiap akhir kontrak," kata lajang yang satu ini. Setelah bekerja satu periode kontrak selama delapan bulan, ia pun menikmati liburan selama dua bulan untuk pulang ke Tanah Air sebelum kembali lagi bekerja di kapal pesiar. Keberuntungan pun turut dirasakan oleh Nurmah, ibu paruh baya yang dianugerahkan satu orang putra. Selama 19 tahun "karir"nya sebagai pengasuh (baby sitter), ia sudah bekerja di Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Saudi Arabia. "Semua majikan memperlakukan saya dengan sangat baik," kata perempuan yang berkerudung warna hitam itu menjelaskan. Bahkan di rumah majikannya yang terakhir di Damman, Saudi Arabia, keluarga majikan tak henti menangis ketika mengetahui Nurmah akan pulang ke Indonesia. Di Damman ia mengurusi anak perempuan keluarga itu yang sejak kecil menderita cacat akibat terpapar polio. "Saya harus pulang, karena anak saya sudah lulus kuliah dan bilang `Sudah Mak! Sudah cukup. Emak tidak usah kerja lagi`,? ujarnya, dan pulanglah Nurmah ke Indonesia. Namun nasib memang tidak selalu memihak seperti yang dirasakan Nurmah dan Ray. Namanya juga nasib, ada yang baik ada yang buruk. Apalagi bekerja di negeri orang sebagai buruh kelas rendah semacam pembantu rumah tangga, yang selama ini terbukti sangat rentan terhadap pelanggaran hak-hak tenaga kerja. Tak jarang bekerja sebagai PRT sudah identik dengan kepasrahan kepada nasib, karena kadang bila sedang beruntung, maka seorang PRT bisa diperlakukan layaknya anggota keluarga sendiri. Namun bila memang nasib berkata lain, maka penderitaan demi penderitaan saja yang datang menghampiri. Berbeda dengan Nurmah dan Ray, saat ini sekitar 20 PRT asal Indonesia sedang mencari perlindungan ke kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Doha, Qatar, setelah berbagai masalah melanda mereka selama bekerja di rumah majikan masing-masing. Nur misalnya. Perempuan asal Indramayu, Jawa Barat, itu mengaku mendapat perlakuan yang tidak adil oleh majikan. Di rumah tempat dia bekerja, ada juga PRT asal Filipina. Bila Nur digaji 600 real Qatar, PRT Filipina yang datang belakangan justru mendapat gaji 700 real, padahal kerja mereka sama beratnya. Bila ditukarkan dengan rupiah, gaji PRT di Qatar sekitar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta. Tentu jauh lebih banyak daripada rata-rata gaji PRT di Indonesia yang kisarannya Rp500ribu-Rp700ribu per bulan. Sementara itu Tasjem yang juga dari Indramayu mengaku majikannya telah memindah-mindahkan dirinya untuk bekerja bukan cuma di rumah majikan pertama. "Saya disuruh kerja di rumah nenek, setelah sebelumnya saya disuruh kerja untuk anak majikan. Gaji saya juga dirampas dan tidak penuh 13 bulan selama saya bekerja untuk mereka," kata dia. Lalu ada Tuyan, yang merasa sangat bingung harus menuruti perintah siapa di dalam rumah majikannya, karena ada tiga orang dewasa di rumah serta empat anak-anak. Persoalan yang kerap dialami PRT adalah masalah gaji yang tidak dibayarkan, penyiksaan, dan masalah-masalah yang terkait dengan beda budaya. "Cultural gap" ini belum dipahami sepenuhnya oleh PRT asal Indonesia, seperti perbedaan antara orang Arab dan Indonesia mengenai masalah sarapan. Di Qatar dan di banyak negara Timur Tengah penduduknya tidak makan nasi atau makanan besar untuk sarapan, beda dengan Indonesia yang berorientasi makan nasi pada pagi hari. Seorang staf KBRI Doha menjelaskan bahwa majikan sering dikeluhkan terlalu cerewet oleh PRT asal Indonesia, padahal memang budaya orang Arab seperti itu. Kalau marah terkesan cerewet dan galak, tapi setelah marah kembali baik lagi. Selain perbedaan budaya, PRT asal Indonesia juga kerap kesulitan bekerja di rumah keluarga Qatar yang sudah dilengkapi berbagai peralatan elektronik yang canggih, seperti mesin cuci dan penghangat makanan. "Dan celakanya, banyak PRT Indonesia tidak dilengkapi dengan pengetahuan menggunakan alat-alat berteknologi tinggi itu," demikian kata staf KBRI mencoba memberika penjelasan. Perlakuan buruk majikan tak urung membuat para pekerja non-formal mencari perlindungan ke KBRI. Kontrak yang seharusnya dua tahun pun harus dihentikan sebelum tenggat waktu. "Kami kalau ingin kabur yaa ke KBRI, karena kalau mengadu ke agen nanti kami malah dipukuli dan disuruh pulang ke rumah majikan," kata para PRT yang rata-rata menumpang taksi menuju KBRI. Nasib memang selalu menjadi penentu jalan hidup mereka yang menuankan nasib. Tidak pernah ada pihak yang bisa memberikan jaminan bahwa semua majikan akan bersikap baik kepada para pencari nafkah di negeri orang. Ada saja majikan yang justru memanfaatkan PRT Indonesia sebagai tenaga bantuan menggarap ladang, karena sejatinya majikan adalah orang yang miskin dan mencari tenaga kerja murah untuk mengurusi ladang milik mereka saja. Di Qatar, negeri yang kekuatan ekonominya mulai setara dengan negara-negara di Eropa barat, memang menawarkan lapangan pekerjaan yang bayarannya sangat menggiurkan. Namun bila harus mengorbankan keselamatan warga negara Indonesia, Duta Besar untuk Qatar, Rozy Munir, mengatakan pihaknya lebih suka menghentikan pengiriman tenaga kerja sektor non-formal dan lebih membesarkan volume pekerja sektor profesional saja. "Sejauh ini pekerja sektor formal tidak terlalu banyak muncul kasus, karena mereka memang lebih terlindungi oleh hukum tenaga kerja Qatar," kata Rozy kepada ANTARA. Menurut dia, ada impian bahwa kelak para pekerja asal Indonesia tidak lagi menuankan nasib, pasrah terhadap polah majikan, sehingga semua kisah bahagia saja yang tersebar ke Tanah Air.(*)
Oleh Oleh Ella Syafputri
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008