Brisbane (ANTARA News) - Setelah melalui masa penantian yang panjang, akhirnya Australia di bawah PM Kevin Rudd, Rabu, menyampaikan permintaan maaf resmi kepada penduduk pribumi Aborigin atas kebijakan "generasi yang tercuri" yang diakuinya sebagai sebuah kekeliruan masa lalu. Permintaan maaf kepada para "generasi yang tercuri" itu disampaikan Rudd dalam pidatonya selama hampir setengah jam di depan para anggota Parlemen Australia dan warga Aborigin yang memadati balkon ruang parlemen di Canberra. Generasi yang tercuri (stolen generations) itu adalah anak-anak Aborigin dan Torres Strait Islander yang diambil paksa badan-badan pemerintah Australia maupun misi gereja dari keluarga-keluarga mereka atas persetujuan parlemen di masa lalu. Pidato Rudd yang bersejarah itu turut disaksikan langsung ratusan warga Canberra yang berkumpul di luar gedung parlemen melalui layar televisi lebar, sedangkan Stasiun TV "ABC", "Channel Nine", "Channel Seven" dan "SBS" menyiarkannya secara langsung. PM Rudd menyebut permintaan maaf itu sebagai upaya "menghilangkan noda besar dari dalam jiwa bangsa Australia". PM Rudd menyampaikan tiga kali permintaan maaf. Parlemen, kata PM Rudd, meminta maaf atas produk-produk hukum dan kebijakannya yang telah menyebabkan luka, penderitaan, dan kehilangan mendalam bagi orang-orang Australia yang tercuri di masa lalu. "Atas kepedihan, penderitaan dan luka para generasi yang tercuri ini, anak cucu dan keluarga yang mereka tinggalkan, kami minta maaf." "Kepada para ibu dan ayah, abang dan kakak, serta keluarga dan masyarakat yang tercerai berai, kami mohon maaf." "Dan terhadap penghinaan dan kemunduran yang terjadi pada orang-orang dan kebudayaan yang membanggakan, kami minta maaf," kata Rudd. Parlemen Australia, lanjut Rudd, berharap permintaan maaf ini dapat diterima sebagai bagian dari upaya "penyembuhan bangsa". Lembaran baru sejarah bangsa Australia pun kini bisa ditulis, katanya. "Hari ini kami mengambil langkah pertama dengan mengakui masa lalu dan meletakkan klaim untuk masa depan yang merangkul seluruh (elemen) bangsa Australia," katanya. Oposisi Menanggapi langkah pemerintah, pemimpin oposisi Brendan Nelson mengingatkan tentang aksi penghakiman masa lalu dengan menggunakan standar masa kini, dengan mengatakan "setiap kita memiliki tugas untuk memahami apa yang telah dilakukan atas nama kita". "Tanggungjawab kita, masing-masing dari kita, adalah memahami apa yang terjadi di sini. Generasi kita tidak melakukan aksi-aksi ini. Jadi tidak semestinya merasa bersalah atas apa yang telah dilakukan...," katanya. Baik PM Rudd dan Nelson membacakan sekelumit tentang kisah anak-anak dari generasi yang tercuri dalam pidatonya di depan sidang parlemen Rabu pagi itu. Namun berbeda dengan PM Rudd yang menampilkan cerita yang mengharukan dan penuh empati sehingga pantas bagi pemerintah dan parlemen Australia untuk meminta maaf kepada para generasi yang tercuri itu, Nelson justru sebaliknya. Mengisahkan penggal cerita seorang anak perempuan Aborigin yang dipisahkan dari ayahnya, Nelson mengatakan bahwa anak perempuan itu tidak ingin orang meminta "maaf" kepadanya melainkan menginginkan mereka memahami kepedihan mendalam dirinya akibat pemisahan tersebut. Menurut literatur, kebijakan masa lalu yang menyangkal hak-hak orangtua warga pribumi atas anak-anak mereka dan menempatkan anak-anak mereka berada di bawah perwalian negara itu berlaku antara 1869 dan 1969. Para generasi yang tercuri itu umumnya tinggal di panti-panti asuhan dan lembaga-lembaga lain milik pemerintah. Seperti disebutkan dalam "Bringing Them Home Report" (1997), setidaknya 100 ribu orang anak Aborigin menjadi korban kebijakan Australia di masa lalu itu. Masalah "stolen generations" ini semakin mendapat sorotan publik tahun 1997, namun isunya mendapat sorotan dunia saat Sydney menjadi tuan rumah Olimpiade 2000. Sehari sebelum permintaan maaf itu disampaikan PM Rudd, sejarah baru bagi rakyat Aborigin sudah terjadi di dalam gedung Parlemen Australia, dimana untuk pertama kalinya, pembukaan sidang ke-42 parlemen federal negara itu dilakukan dengan acara penyambutan secara tradisi Aborigin. Acara penyambutan yang disebut "Welcome to Country" itu antara lain ditandai dengan pertunjukan seni oleh sejumlah pemain didgeridoo dan kerang (alat tiup tradisional Aborigin), tarian oleh sekelompok perempuan, dan penyerahan tongkat pesan komunikasi rakyat Aborigin kepada PM Rudd oleh Ngambri elder Matilda House-Williams. Tokoh wanita Aborigin itu menyebut "Welcome to Country" (Selamat Datang ke Negara) di gedung Parlemen Australia sebagai simbol utama bagi "adanya harapan lahirnya sebuah bangsa yang bersatu melalui rekonsiliasi". "'Welcome to Country' ini mengakui kehadiran rakyat kami dan memberikan penghormatan kepada para leluhur kami yang telah menciptakan tanah. Dalam melakukan ini, perdana menteri menunjukkan bahwa kami meminta penghormatan yang pantas bagi kami, bagi para anggota parlemen, dan bagi seluruh rakyat Australia," kata Matilda. Dari sekitar 21 juta jiwa penduduk Australia, sedikitnya 435.400 orang di antaranya adalah penduduk pribumi Aborigin. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008