Jakarta (ANTARA News) - Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono menilai hingga saat ini kebanyakan media di tanah air lebih banyak menampilkan potret buram perempuan dalam pemberitaannya. Meutia mengemukakan hal itu dalam sambutan tertulis pada dialog tentang perempuan, media dan kekuasaan di Jakarta, Selasa, yang dibacakan oleh Deputi Bidang Peningkatan Kualitas Hidup Perempuan Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan Dra.Setyowati,MSc. "Banyak sekali potret buram sosok perempuan menghiasi media kita, baik cetak atau elektronik. Perempuan sering digambarkan sebagai sosok yang lemah, mudah dikuasai dan dieksploitasi," katanya. Potret perempuan yang digambarkan media, kata dia, juga masih memperlihatkan stereotip yang merugikan kaum perempuan, dimana perempuan masih digambarkan sebagai sosok yang pasif, tergantung pada laki-laki, didominasi, menerima setiap keputusan laki-laki dan hanya menjadi simbol sensualitas. "Sedikit sekali media yang menggambarkan peran dan citra positif perempuan serta mengungkap perempuan dari sudut pandang kualitas hidupnya. Jika demikian siapa yang harus bertanggungjawab?" katanya serta menambahkan bahwa kondisi yang demikian membuat posisi perempuan semakin tersubordinasi. Dalam hal ini, ia melanjutkan, media mempunyai andil besar dalam membentuk opini dan perilaku sosial yang membuat posisi perempuan semakin tersubordinasi. "Jika dihubungkan dengan kesetaraan dan keadilan gender, media termasuk salah satu yang harus mendapat kritikan karena tidak peka gender," katanya. Diskusi tentang Perempuan, Media dan Kekuasaan itu diselenggarakan dalam rangkaian peringatan Hari pers ke-62 yang jatuh pada 9 Februari 2008. Mariana Amiruddin dari Jurnal perempuan juga mengatakan bahwa media kadang masih melakukan kekerasan simbolik secara tidak langsung kepada perempuan melalui pemberitaannya. Ia mencontohkan hal ini antara lain terjadi pada pembuatan judul-judul pemberitaan seputar mantan Jugun Ianfu (korban perbudakan seksual pada masa penjajahan Jepang-red) seperti judul yang menyebut mereka sebagai mantan pelacur, membuat para korban justru menderita secara psikologis. Mariana juga menyebutkan, berita tentang perkosaan yang dibumbui kata-kata "masa depannya akan hancur" atau berita seputar aborsi dengan pernyataan "mengapa sang ibu tega melakukan itu" juga tidak membuat korban menjadi lebih baik, bahkan justru lebih hancur. Menurut dia, dalam hal ini aktor utama media seperti wartawan, editor, agen berita, agen iklan, rumah produksi dan pemilik saham memiliki andil atas keluarnya pemberitaan semacam itu. Sementara Meutia menjelaskan bahwa kondisi itu tercipta karena penentuan kebijakan dalam industri media sendiri hingga saat ini masih didominasi oleh kaum pria. Industri pers, kata dia, masih sering disebut sebagai "industri lanang", dunia laki-laki, sehingga pemberitaan yang dikeluarkan juga seringkali dibuat berdasarkan cara pandang laki-laki. Jika kondisi semacam ini dibiarkan tanpa ada upaya ke arah perubahan maka menurut Meutia, yang selanjutnya akan muncul adalah bahwa segala sesuatu yang ditampilkan media akhirnya dianggap benar. Kesetaraan dan keadilan gender menjadi semakin sulit diwujudkan. "Karena itu sudah saatnya kaum perempuan mulai diposisikan sebagai penentu kebijakan media dengan harapan media bisa menggeser anggapan bahwa pers adalah `industri lanang` yang lebih banyak menghasilkan ketimpangan yang merugikan kaum perempuan," tuturnya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008