Jakarta (ANTARA News) - Temasek Holdings melalui kuasa hukumnya Todung Mulya Lubis meminta kepada Mahkamah Agung (MA) untuk menunda proses persidangan keberatan atas putusan KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) mengenai kepemilikan silang Temasek pada Indosat dan Telkomsel. "Kami mohon proses pemeriksaan ditunda untuk memberikan kesempatan yang fair dan adil. Kami mohon penundaan karena kami mohon penjelasan proses hukum keberatan ini (kepada MA)," kata Todung dalam jumpa pers di kantornya di Jakarta, Selasa. Todung mengatakan pihaknya telah mengirimkan surat kepada MA Senin kemarin (11/2) agar MA dapat memberikan penjelasan dan fatwa mengenai beberapa permasalahan hukum terkait proses hukum keberatan Temasek Holdings terhadap keputusan KPPU. Beberapa permasalahan hukum yang mereka tanyakan kepada MA tersebut, kata Todung, antara lain mengenai mekanisme pengajuan keberatan ke pengadilan negeri, 30 hari masa proses persidangan keberatan keputusan KPPU dan mengenai pemeriksaan tambahan. Todung mengatakan pihaknya mempermasalahkan proses pengajuan keberatan ke pengadilan negeri karena sesuai Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat maka pelapor mengajukan ke pengadilan negeri tempat pelapor berdomisili. Sedangkan semua kliennya yaitu Temasek Holdings Pte Ltd, Singapore Technologies Telemedia Pte Ltd, STT Communications Ltd, Asia Mobile Holdings Company Pte Ltd, Asia Mobile Holdings Pte Ltd, Indonesia Communications Ltd, Indonesia Communications Pte LTd, Singapore Telecommunications Pte Ltd, dan Singapore Telecom Pte Ltd (terlapor IX), lanjut dia, tidak berdomisili di Indonesia. "Ada mekanismenya pengajuan keberatan melalui Pengadilan Negeri. Pengadilan Negeri yang berwenang adalah pengadilan dimana pemohon itu berdomisili. Tapi bila pemohon tidak punya domisili, maka kita semua ajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat," kata Todung. Todung mengatakan hukum acara Undang-undang mengenai KPPU tidak menjelaskan apabila pemohon keberatan tidak berdomisili di Jakarta, maka bagaimana mengajukan keberatan terhadap keputusan KPPU. Dia juga mempermasalahkan jangka waktu proses persidangan keberatan terhadap keputusan KPPU yang berdasarkan UU adalah 30 hari. "30 hari itu terhitung mulai sidang tanggal 14 Januari atau sidang (sidang kedua) tanggal 21 Januari ?," tanya Todung. Sedangkan mengenai pemeriksaan tambahan pada proses hukum sidang keberatan keputusan KPPU, Todung mempertanyakan kenapa hanya KPPU yang punya hak untuk melakukan pemeriksaan tambahan terhadap saksi dan bukti baru. "Saya sudah tanya ke majelis hakim, apakah adil bahwa pihak yang berperkara yaitu KPPU yang melakukan pemeriksaan tambahan ?," kata Todung. Dia mempertanyakan apakah pihaknya mendapatkan hak untuk melakukan pemeriksaan tambahan karena kliennya akan mengajukan saksi-saksi dan bukti-bukti baru. Todung melihat banyak kelemahan hukum acara perdata KPPU yang terdapat pada Peraturan KPPU nomor 1/2006 tentang Tata Cara Penanganan Perkara di KPPU, Peraturan Mahkamah Agung No.3/2005 tentang Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Keberatan terhadap Putusan KPPU dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Todung mengatakan pada Perma No.3/2005 menyebutkan bahwa bila tidak ada hukum yang mengatur hukum acara perdata proses keberatan keputusan KPPU secara jelas, maka proses hukum mengacu kembali kepada hukum acara perdata biasa. "Bila mengacu kepada hukum acara perdata, maka kami berhak mengajukan bukti-bukti dan saksi baru dalam persidangan. Akan tetapi apakah waktu 30 hari itu cukup ?," kata Todung mempertanyakan. Selain itu, permintaan penundaan proses sidang keberatan keputusan KPPU terkait dengan gugatan yang diajukan oleh Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu kepada KPPU di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat agar membatalkan keputusan KPPU tentang kepemilikan silang Temasek. Todung mengharapkan MA menjawab surat permohonan mereka hari ini atau besok pada sidang lanjutan keberatan Temasek Holdings terhadap KPPU.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008