Batam (ANTARA) - Selama berpuluh tahun, warga yang tinggal di Pulau Batam, pulau utama di Kota Batam Kepulauan Riau tidak memiliki kepastian hukum dan selalu resah dengan aset yang dimilikinya.

Warga membeli rumah, tapi tanah di bawahnya harus menyewa. Ada juga yang memiliki warisan tanah dari leluhur, tapi berlokasi di atas tanah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Otorita Batam (kini bernama Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Pelabuhan Bebas Batam) sehingga tidak memiliki sertifikat.

Pasal 6 Keppres No.41 tahun 1973 menyebutkan seluruh areal tanah yang terletak di Pulau Batam diserahkan dengan HPL kepada Otorita Pengembangan Daerah Industri di Pulau Batam.

Kebijakan itu dibuat dengan pertimbangan potensi pengembangan industri di pulau yang dekat dengan Singapura. Agar penggunaan lahan bisa dikendalikan demi kebutuhan penanaman modal, maka seluruhnya dikelola BP Batam.

Atas kebijakan itu, maka BP Batam sebagai pemilik HPL berhak mengalokasikan lahan untuk pihak lain, dengan syarat harus membayar Uang Wajib Tahunan Otorita, atau biaya sewa lahan.

Sayangnya, kebijakan serupa juga diterapkan kepada pemukiman perumahan. Sehingga terkesan tidak berkeadilan kepada penduduk.

"Kami, yang hanya memakan gaji secukupnya ini, diperlakukan seperti investor. Harus sewa lahan juga, padahal rumah dibeli," kata warga Batam, Feri.

Warga pemilik hunian di perumahan harus membayar Uang Wajib Tahunan Otorita (UWTO) setiap 30 tahun sekali yang dihitung sejak pengembang mendapatkan alokasi lahan dari BP Batam. Bukan sejak warga membeli rumah.

Jadi bisa saja, dan pernah terjadi, warga yang baru membeli rumah, sudah harus membayar UWTO pada 3 tahun kemudian.

Padahal, harga rumah di Batam relatif mahal. Dalam situs jual beli rumah www.99.co disebutkan, rumah tipe 38/72 di kawasan Batam Kota dijual seharga Rp400 juta.

"Jadi kalau kita meninggal nanti, yang kita tinggalkan pada anak cucu adalah utang UWTO, bukan cuma rumah yang sudah kita lunasi," kata warga Batam lainnya, Riana.

Dan tidak hanya itu, kebijakan yang sama juga terkesan tidak memberi rasa keadilan kepada penduduk yang sudah menempati Batam, sebelum pemerintah mengembangkan pulau itu.

Pemerintah daerah mencatat setidaknya terdapat 37 lokasi kampung tua di Pulau Batam.

Para tokoh masyarakat terus memperjuangkan lahan warisan mereka sejak belasan tahun lalu, agar dikeluarkan dari HPL BP Batam.


Janji Jokowi

Setelah berlangsung berpuluh tahun, di saat warga sudah mulai acuh dengan kebijakan UWTO perumahan, Wali Kota Muhammad Rudi berkomitmen memperjuangkan pembebasan sewa lahan dan sertifikasi kampung tua.

Hal itu dikatakannya saat masih berkampanye dalam pemilu 2015. Syukurnya, komitmen itu terus dijaganya, dengan melakukan berbagai lobi ke pemerintah pusat, bersama Gubernur Kepulauan Riau Nurdin Basirun.

Akhirnya, seperti mendapatkan guyuran air saat kemarau, Joko Widodo mengucapkan komitmen serupa, saat berkampanye dalam Pemilihan Presiden 2019.

"Jadi saya ingin sampaikan dua hal penting. Yang pertama mengenai sertifikasi pembuatan sertifikat untuk Kampung Tua. Siapa yang setuju Kampung Tua disertifikasi?” kata Jokowi saat melakukan orasi politik di Kompleks Stadion Temenggung Abdul Jamal, Kota Batam, awal April 2019.

Jokowi berjanji akan melakukan sertifikasi tersebut maksimal dalam waktu tiga bulan agar status kepemilikan tanah semakin jelas dan legal bagi masyarakatnya.

"Akan kami lakukan maksimal 3 bulan akan kami selesaikan. Tiga bulan Kampung Tua akan kami sertifikatkan," katanya.

Dan, hanya butuh waktu 2 bulan sejak komitmen itu dinyatakan, Menteri Agraria dan Tata Ruang Sofyan Djalil ke Batam, untuk menunaikan janji presiden.

Kepada jajaran Pemkot Batam, BP Kawasan Batam dan pihak lainnya, Sofyan menjabarkan rencana teknis sertifikasi Kampung Tua, dengan mengeluarkannya dari HPL BP Batam.

"Menindaklanjuti perintah Presiden tentang pelepasan kampung tua di Batam, dilepaskan dari kawasan BP dan diserahkan kembali kepada masyarakat yang mendiami kampung tua," kata Menteri ATR.

Lahan kampung tua yang akan dikeluarkan dari HPL BP Kawasan Batam seluas 11.033.153 meter persegi yang tersebar di 37 lokasi.

Berdasarkan pendataan yang sudah disepakati bersama, luas 11.033 hektare itu terbagi dalam sekitar 42.970 bidang yang dimiliki 21.180 kepala keluarga.

Pemkot akan diberikan hak untuk mengelola Kawasan Kampung Tua, untuk merencanakan tata kota, seperti lokasi jalan dan sebagainya, agar Kampung Tua tidak menjadi kawasan kumuh.

Gubernur Kepri Nurdin Basirun menyatakan lega dengan keputusan pemerintah.

"Alhamdulillah, cepat sekali. Langsung direalisasi Presiden melalui Menteri ATR, kami terima kasih," kata Gubernur.

Ia mengajak masyarakat bersyukur dengan kebijakan pemerintah dengan menjaga suasana agar tetap aman dan damai.

UWTO

Setelah kebijakan untuk kampung tua selesai, dan tinggal menunggu pelaksanaan, maka masalah selanjutnya adalah kepastian hukum bagi pemilik hunian di perumahan.

Menteri menyatakan, pemerintah belum membahas masalah lahan atas pemukiman, dalam rapat di Batam, akhir Juni 2019.

Meski demikian, ia memastikan pemerintah akan menetapkan kebijakan rumah yang berlokasi di pemukiman dengan luas di bawah 200 meter tidak perlu lagi membayar uang wajib tahunan otorita (UWTO) atau sewa lahan.

Ia mengatakan, kebijakan itu khusus untuk rumah di perumahan saja, tidak lainnya.

"Yang 200 meter di perumahan akan dibuat aturan oleh BP, UWTO-nya nol. Kalau bisnis enggak, tetap bayar, karena itu komersial," kata dia.

Namun, rumah warga di perumahan-perumahan di Kota Batam Kepulauan Riau tidak bisa dilengkapi sertifikat hak milik, melainkan hanya hak guna bangunan.

"Enggak (hak milik), HGB," kata Menteri.

Bahkan, bila sudah ada warga yang mengantongi sertifikat hak milik, maka akan dikembalikan menjadi HGB saat proses jual beli. BP Kawasan Batam akan membuat aturan mengenai hal tersebut.

"Kalau dijual diturunkan kembali menjadi HGB," kata dia.

Menurut dia, kebijakan itu dibuat untuk melindungi tanah di Batam, yang merupakan daerah strategis, pulau berbatasan dengan Malaysia dan Singapura.

"Kalau kita ingin menata yang bagus untuk masa depan, struktur kepemilikan HGB yang terbaik, seperti Singapura," kata dia.

Warga Batam, Feri pun menyambut baik kebijakan pemerintah, meski lahan di perumahan tidak bisa mengantongi sertifikat hak milik.

"Paling tidak sudah ada kepastian, kita tidak lagi membayar UWTO. Jual beli rumah lebih aman, dan tidak meninggalkan utang UWTO kepada anak cucu," kata dia.

Ia berharap komitmen Presiden Joko Widodo segera direalisasikan, terlebih setelah ditetapkan sebagai presiden terpilih 2019-2024.

Baca juga: BP Batam ingin Kampung Tua tetap masuk FTZ

Baca juga: Pemkot perjuangkan 37 lokasi kampung tua Batam
​​​​​​​

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019