Jakarta (ANTARA) - Kalangan anggota DPR RI meminta agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga melakukan pemeriksaan terhadap aparat penegak hukum yang sekiranya terkait dengan kasus aliran dana Bank Indonesia (BI). Namun demikian, kepada para pihak hendaknya menahan diri untuk tidak melakukan intervensi karena proses hukumnya sudah masuk pro justisia, kata Wakil Ketua Komisi III DPR RI, Aziz Syamsuddin di Jakarta, Selasa, menanggapi terus merebaknya kasus aliran dana BI. "Dan bila memang terbukti ada aliran dana ke aparat penegak hukum maka dapat disimpulkan dalam mafia peradilan," katanya. Menurut dia, proses hukum atau pro justisia itu dimulai dari proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan proses di peradilan. "Dengan demikian, biarkan proses pro justisia itu berjalan sesuai fakta hukum," ungkapnya. Anggota Komisi III dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Lukman Hakim Syaefuddin juga sepakat dalam kasus ini agar seluruh yang terlibat dana BI harus diusut tuntas, termasuk bila ada pihak kejaksaan di dalamnya. "Pemberantasan korupsi tidak boleh pandang bulu. Justru kalo ditemukan aparat penegak hukum yang melakukannya maka sanksinya harus ada pemberatan berkali-kali lipat," tegasnya. Senada disampaikan oleh anggota komisi III DPR RI dari Fraksi Golkar, Aulia A Rahman bahwa di hadapan hukum semua warga negara sama, yaitu siapapun bisa diperiksa. "KPK jangan tebang pilih. Tapi juga harus periksa aparat hukum terkait aliran dana BI untuk bantuan hukum," ungkapnya. Menurut dia, semua warga negara punya hak dan kewajiban yang sama dihadapan hukum. Siapapun dia termasuk penegak hukum, bila ternyata juga ikut berperan dalam aliran dana BI tersebut harus diperiksa. Namun demikian, lanjutnya, dalam proses hukum tersebut tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah. Sementara itu, adanya dana bantuan hukum berjumlah besar dari Bank Indonesia (BI) untuk membantu pejabat BI yang terjerat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) diduga merupakan pintu masuk terjadinya praktik mafia peradilan. Terkait dengan hal itu, Direktur Publikasi dan Pendidikan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Agustinus Edy Kristianto mendesak Kejaksaan Agung (Kejakgung) dan Mahkamah Agung (MA) melakukan pemeriksaan internal terhadap hakim dan jaksa yang menangani kasus BLBI. YLBHI, kata Agus, melihat adanya indikasi terjadinya penyimpangan perilaku, kode etik, maupun dugaan tindak pidana korupsi sehingga pemeriksaan secara internal terhadap aparat kedua instansi itu diharapkan bisa menjaga kredibilitas MA dan Kejagung secara kelembagaan. "KPK pun harus secara jeli mencermati kemungkinan adanya alat bukti terkait korupsi peradilan kasus BLBI. Karena itu, pemeriksaan harus diarahkan kepada hakim yang pernah menangani kasus BLBI dari tingkat pertama sampai MA, dimana Ketua MA Bagir Manan juga merupakan hakim kasus BLBI," katanya. Berdasarkan laporan Ketua BPK Anwar Nasution kepada KPK tentang aliran dana BI tertanggal 14 November 2006, disebutkan bahwa dana untuk menyelesaikan masalah hukum tidak hanya Rp68,5 miliar dana milik Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) saja, tapi juga masih ditambah lagi Rp27,7 miliar dana anggaran BI sehingga totalnya mencapai Rp96,25 miliar. Sementara dana yang dialokasikan BI ke DPR senilai Rp31,5 miliar. Laporan itu juga mengungkapkan bahwa dana bantuan hukum berupa cek senilai Rp68,5 miliar yang dicairkan dalam beberapa termin itu "diserahkan kepada para oknum penegak hukum di Kejagung untuk mengurus perkara masing-masing melalui orang ketiga (perantara)" agar proses hukum petinggi BI dihentikan.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008