Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah melakukan tindakan dengan prinsip "out of court settlement" atau penyelesaian di luar pengadilan dalam menghadapi krisis perbankan yang memunculkan adanya Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). "Tindakan pemerintah itu dalam bentuk Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS)," kata Menko Perekonomian Boediono, saat menyampaikan keterangan dan jawaban pemerintah atas interpelasi DPR tentang penyelesaian BLBI dan KLBI dalam rapat paripurna DPR di Jakarta, Selasa. Dalam rapat yang dipimpin Wakil Ketua DPR Muhaimin Iskandar, Boediono menyebutkan bentuk PKPS terdiri dari "Master Settlement and Aquisition Agreement" (MSAA), "Master Refinancing and Notes Issuance Agreement" (MRNIA), dan Akta Pengakuan Utang (APU). Perjanjian MSAA ditandatangani oleh lima obligor, yaitu Anthony Salim, Samsul Nursalim, M. Hasan, Sudwikatmono, dan Ibrahim Risjad. Total program MSAA adalah Rp85,9 triliun. Sementara perjanjian MRNIA ditandatangani oleh empat obligor, yakni Usman Admadjaja (Rp12,5 triliun), Kaharuddin Ongko (Rp8,3 triliun), Samadikun Hartono (Rp2,7 triliun), dan Ho Kiarto dan Ho Kianto (Rp297,6 miliar). Total program PKPS MRNIA adalah Rp23,8 triliun. Pada periode pemerintahan BJ Habibie, 65 bank dalam penyehatan (BDP) dikelola oleh BPPN, di mana 10 di antaranya adalah BBO, 42 BBKU, 13 BTO. Pada masa pemerintahan Abdurrachman Wahid, rekapitalisasi dilakukan terhadap Bank Niaga dan Bank Danamon, yang mencakup biaya Rp55,05 triliun. Perjanjian PKPS pada periode ini dilakukan dengan penandatangan APU oleh 30 obligor, dengan nilai jaminan kewajiban pemegang saham setelah reformulasi sebesar Rp15,2 triliun. Beban negara dalam bentuk SUN yang dikeluarkan sebagai konsekuensi kebijakan penanganan krisis ekonomi sejak pemerintahan Presiden Soeharto, Habibie, dan Wahid sebesar Rp218,32 triliun untuk BLBI, dan penjaminan serta rekapitalisasi perbankan Rp422,6 triliun. Sejak 2001, pemerintahan Megawati menetapkan kebijakan melanjutkan penanganan dampak krisis ekonomi dan perbankan, terutama terkait dengan pengambilalihan aset-aset obligor serta penjualan aset itu. Pemerintah saat itu mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) kepada lima obligor MSAA, yaitu Anthony Salim yang tingkat pengembalian Rp19,4 triliun (37 persen), Sjamsul Nursalim Rp4,9 triliun (17,3 persen), M Hasan Rp1,7 triliun (27,4 persen), Sudwikatmono Rp713 miliar (37,4 persen), dan Ibrahim Risjad Rp370,8 miliar (55,7 persen). SKL juga diberikan kepada 17 obligor PKPS APU. Dengan tingkat pengembalian seperti itu, pemerintah harus menanggung beban sebesar Rp57,8 triliun. Angka itu merupakan selisih dari SUN yang diterbitkan pemerintah dibanding dengan tingkat pengembalian. Pada 2004, masa kerja BPPN selesai dan ditutup. Total biaya penyehatan perbankan selama 1997-2004 sebesar Rp640,9 triliun, yakni untuk program BLBI sebesar Rp144,5 triliun, penjaminan Rp53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp20 triliun, dan rekapitalisasi Rp422,6 triliun. Dengan penerbitan SUN untuk mendanai program-program itu, utang pemerintah dari dalam negeri mendadak melonjak hingga sekitar 100 persen dari PDB. Dengan demikian beban APBN menjadi sangat berat akibat lonjakan utang yang sangat besar dalam waktu singkat. "Sejak awal pemerintah bertekad untuk melakukan langkah-langkah penyelesaikan yang menjamin rasa keadilan, transparansi, kepastian hukum, dan bebas dari intervensi kepentingan kelompok, dan bersih dari korupsi. Upaya untuk mengembalikan uang negara secara maksimal terus dilakukan melalui mekanisme dan instrumen yang tersedia," kata Boediono. Selain Menko Perekonomian Boediono, dalam kesempatan yang sama Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga membacakan keterangan dan jawaban pemerintah yang lebih rinci terhadap masalah BLBI. Rapat Paripurna DPR dengan agenda utama penyampaian jawaban pemerintah atas interpelasi kasus BLBI/KLBI akhirnya dilanjutkan setelah dilakukan lobi pimpinan fraksi DPR RI yang berlangsung sekitar satu jam atau melebihi kesepakatan yang telah dicapai sebelumnya, yaitu 30 menit. Kesepakatan melanjutkan rapat paripurna itu mengakhiri perdebatan antar-anggota Dewan mengenai ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada rapat paripurna DPR. Perdebatan berlangsung selama 1,5 jam dan sempat diskors dua kali. (*)
Copyright © ANTARA 2008