Jakarta (ANTARA News) - Wapres Jusuf Kalla mengatakan bangsa Indonesia perlu meneladani sikap dan perilaku politisi Muhammad Natsir yang dikenal amat santun. "Di tengah perilaku bangsa ini yang tiba-tiba menjadi sangat pemarah, maka kita memerlukan lahirnya kembali tokoh-tokoh yang cerdas, berpikir integral, dan santun seperti Natsir," kata Kalla, saat menerima Panitia Seabad Natsir di Jakarta, Selasa. Kalla, sebagaimana disampaikan Lukman Hakiem, Sekretaris Umum Panitia Seabad Natsir, mengaku amat terkesan dengan kesantunan Natsir. Untuk itu, menjelang peringatan seabad Natsir, Wapres berharap panitia menerbitkan kembali buku-buku Natsir agar bangsa Indonesia bisa meneladani sikap dan perilaku Natsir dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Panitia juga akan menyelenggarakan seminar di Bandung, Yogyakarta, Pekanbaru, Medan, dan Makassar tentang pikiran dan perjuangan Natsir. Selain itu, panitia akan menerbitkan kembali karya-karya Natsir seperti "Capita Selecta" dan membuat film dokumenter, hingga puncak peringatan pada 17 Juli 2008. Dalam pertemuan tersebut, Wapres menerima permintaan panitia untuk menjadi Ketua Kehormatan Panitia Seabad Natsir. Selain Lukman Hakiem, Panitia Seabad Natsir yang diterima Wapres adalah La Ode M Kamaluddin (Ketua umum), AM Fatwa dan A Fauzi Natsir (Penasihat), Harry Azhar Aziz dan Imam Suhardjo (Ketua), Ida Hasjim Ning (Bendahara), dan Usman Ali (Sekretaris Eksekutif). Natsir yang lahir di Alahan Panjang, Solok, Sumbar, pada 17 Juli 1908 merupakan salah seorang politisi, pemikir, dan ulama ternama pada masa lalu dari Partai Masyumi. Ia pernah menjadi Perdana Menteri ke-5 pada periode 5 September 1950 - 26 April 1951. Natsir dikenal sebagai elit politik dan negarawan yang rendah hati, santun, dan bersuara lembut, meskipun terhadap lawan-lawan politiknya. Pada tahun 1961 misalnya, Presiden Soekarno memenjarakan Natsir tanpa proses hukum, dengan tuduhan terlibat dalam Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumbar. PRRI merupakan reaksi atas pemerintahan otoriter Soekarno dan berada di bawah pengaruh PKI, tulis anggota Komisaris LKBN Antara Asro Kamal Rokan pada sebuah harian ibukota edisi 21 November 2007 dengan judul "Mengenang Pak Natsir". Orde Baru membebaskan Natsir, tetapi ia tetap dikucilkan. Selaku pemimpin Kongres Muslim Sedunia (World Moslem Congress), Sekjen Rabitah al-Alam al-lslami (World Moslem League), Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London, dan anggota Dewan Masjid Sedunia (al-Majlis al-A`la al-`Alami li al-Masajid), Natsir dilarang ke luar negeri mengikuti pertemuan organisasi-organisasi itu. Ia dicekal terutama setelah menandatangani Petisi 50 yang mengkritisi mantan Presiden Soeharto. Meski diperlakukan begitu Natsir tidak dendam. Ketika Orde Baru gagal meyakinkan Jepang untuk membantu Indonesia, Natsir menyurati sahabatnya, Perdana Menteri Jepang ketika itu Takeo Fukuda, sehingga Jepang bersedia membantu Indonesia. Natsir dikenal sebagai tokoh integral karena melalui Mosi Integral Natsir, ia berhasil menyatukan Indonesia dalam Negara Kesatuan RI dan mengakhiri masa-masa Republik Indonesia Serikat (RIS) yang terdiri atas berbagai negara bagian. Natsir meninggal dunia pada 14 Maret 1993. (*)
Copyright © ANTARA 2008