Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai bahwa kesadaran masyarakat untuk mengawasi pengadaan barang dan jasa pemerintah masih rendah meski sudah disediakan berbagai inovasi untuk memantau secara elektronik.

"Kami ada 'platform' Open Tender untuk mengolah data LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah) supaya memberikan jalan bagi masyarakat agar lebih mudah mengawasi namun upaya menyosialisasikan open tender tidak mudah, tidak banyak masyarakat otomatis menggunakan 'platform' itu untuk pengawasan," kata koordinator ICW Adnan Topan Husodo di gedung LKPP Jakarta, Jumat.

Adnan menyampaikan hal tersebut dalam acara penandatanganan nota kesepahaman antara ICW, LKPP dan Ikatan Ahli Pengadaan Indonesia (IAPI) untuk mewujudkan pengadaan barang dan jasa pemerintah yang lebih akuntabel, transparan dan partisipatif.

"Ini menjadi evaluasi untuk upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, karena bukan masalah dalam inovasinya mengingat inovasi sudah sangat luar biasa karena gelombang informasi berkembang tapi level partisipasi masyarakat kecil," tambah Adnan.

Menurut Adnan, KPK juga sudah meluncurkan meluncurkan aplikasi JAGA guna mencegah terjadinya praktik korupsi. Aplikasi JAGA telah dapat diunduh masyarakat dalam telepon selular berbasis android. D‎alam aplikasi tersebut disediakan empat layanan berupa Jaga Sekolahku, Jaga Rumah Sakit, Jaga Puskesmas dan Jaga Perizinan dan Dana Desa.

"KPK juga sudah buat JAGA tapi keterlibatan publik ke JAGA juga berapa? Tantangannya bagaimana agar semakin banyak publik yang mengakses data LKPP dalam aplikasi open tender untuk berbagai macam kepentingan terutama untuk pengadaan barang dan jasa pemerintah," ungkap Adnan.

Adnan menjelaskan "platform" Open Tender sudah diperkenalkan ke berbagai pemangku kebijakan termasuk ke inspektorat jenderal pemerintah.

"Karena kami lihat pengawasan internal efektif bila inspektorat jenderal juga efektif. Salah satunya melalui 'Open Tender' ini kami sudah melakukan penelitian agar Open Tende efektif di Kemendibud, Kemendagri dan Kemenkumham tapi sekali lagi budaya kerja belum berubah sehingga teknologi bukan memudahkan tapi kembali ke pola lama yang butuh energi yang banyak. Ini tantangan kita bagaimana mendorong pemanfaatan teknologi dalam mengawasi kerja-kerja pemerintah agar lebih efektif," jelas Adnan.

Apalagi menurut Adnan, berdasarkan data dari penindakan kasus korupsi di Indonesia, kasus-kasus korupsi malah banyak terjadi ketika pengadaan dilakukan secara elektronik.

"Ini bukan hanya memprihatinkan tapi bertolak belakang dengan tujuan sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik. Ada apa? Sudah diupayakan mengubah sistemnya tapi ternyata koruptornya lebih pintar, mengakali sistem itu. Kajian perlu dikembangkan untuk melihat di mana kelemahannya dan bagaimana membuat solusi pendekatan baru yang efektif," tegas Adnan.

Senada dengan Adnan, Kepala LKPP Roni Dwi Susanto menyatakan bahwa 42 persen kasus korupsi yang ditangani penegak hukum adalah mengenai pengadaan barang dan jasa.

"Per bulan kami mendapat 50 pengaduan, tapi baru ditangani 20 persen. Hal itu karena kualitas pengaduannya kurang, bagaimana supaya masyarakat dapat mudah mengadukan setidaknya 5W1H (apa, siapa, kapan, di mana, mengapa, bagaimana) kejadiannya dan bukti pengaduannya apa, sangat penting mengedukasi masyarakat," kata Roni dalam acara yang sama.

Berdasarkan data LKPP, dari nilai belanja barang dalam APBN terus meningkat yaitu Rp2.080,5 triliun (2017), Rp2.220 triliun (2018) dan Rp2.461 triliun (2019) dengan jumlah paket pengadaan 2,228 juta paket (2017), 2,357 juta paket (2018) dan 2,987 juta paket (2019).

Namun dari jumlah belanja tersebut, yang sudah menggunakan transaksi melalui elektronik pada 2018 baru Rp391,9 triliun dengan rincian e-tanderin senilai Rp337,1 triliun (116.650 paket) dan e-purchasing Rp54,8 triliun (375.021 paket). Jumlah tersebut hanya 37,7 persen dari total belanja barang/jasa pada 2018 senilai Rp1.040 triliun.

Padahal dengan penggunaan sistem elektronik tersebut, tercapai optimalisasi anggaran negara senilai Rp62,01 triliun melalui sistem e-procurement yang berasal dari selisih pagu dan hasil lelang atau sekitar Rp150 triliun pada periode 2015-2018.

Dalam pantauan ICW, tidak kurang dari 40 persen korupsi yang terjadi berhubungan dengan pengadaan barang dan jasa. Data KPK menunjukkan dari jenis perkara korupsi yang paling banyak disidik hingga 31 Desember 2018, pengadaan barang dan jasa masih menempati peringkat kedua teratas setelah penyuapan.

Baca juga: BPK harapkan komitmen KL tindaklanjuti rekomendasi terkait temuan LKPP

Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019