Jakarta (ANTARA News) - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengungkapkan penurunan bea masuk (BM) impor beras sebesar Rp100 per kg akan menghilangkan pendapatan petani hingga Rp5,4 triliun karena instrumen itu akan menekan harga gabah di tingkat petani. Sekjen HKTI, Rachmad Pambudy, di Jakarta, Senin, mengatakan bahwa berdasarkan perhitungan, jika produksi gabah nasional mencapai 54 juta ton maka dengan BM sebesar Rp100 per kg, pengurangan harga gabah petani diperhitungkan mencapai Rp5,4 triliun. "Selain itu, potensi kehilangan pekerjaan karena impor 1 juta ton beras bisa mencapai 5 juta orang," katanya di sela seminar Ketahanan Pangan. Menurut dia, angka ini berasal dari perhitungan produksi 1,5 juta ton beras membutuhkan gabah 2,5 juta ton dengan areal budi daya 500.000 hektar. Bila satu hektar lahan pertanaman padi menyerap 10 pekerja, maka 500.000 ha membutuhkan 5 juta orang petani. "Petani berpotensi kehilangan pekerjaan jika pemerintah mempertahankan impor," katanya menegaskan. Beberapa waktu lalu pemerintah menurunkan BM impor beras dari sebelumnya Rp550/kg menjadi Rp450/kg. Rachmad yang juga Ketua Umum Lembaga Pembangunan Pertanian Nahdlatul Ulama (LPPNU) itu mengatakan, sejumlah negara maju dan produsen beras justru menaikkan tarif BM impor untuk melindungi petaninya sekaligus untuk merangsang peningkatan produksi. "Di sejumlah negara, kata dia, seperti AS, Thailand Vietnam, India dan Jepang justru menaikkan BM dari mulai 50-300 persen. "Kok kita diturunkan, padahal dengan BM Rp550 per kg itu hanya 25 persen tarif yang diterapkan," katanya. Sekjen HKTI menolak anggapan bahwa gabah atau beras Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan produk impor dan petani luar negeri lebih efisien dibandingkan petani dalam negeri. Kalau di pasar internasional harga beras sekitar 330 dolar AS per ton, tambahnya, Vietnam sekitar Rp4.400 per kg dan Thailand kurang dari Rp5.000 per kg, tapi Thailand bisa menjual 350 dolar AS per ton, sama dengan di Indonesia. Menurut dia, petani luar negeri disediakan infrastruktur yang bagus, permodalan dan sarana produksi lain dari pemerintahnya sedangkan di Indonesia semua itu tidak tersedia namun petani masih mampu memproduksi padi dengan harga murah. "Itu artinya petani kita lebih efisien dibandingkan petani luar," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008