Ini berawal dari teman kami yang selamat dari bencana gempa bumi Padang. Proses penemuan korban memakan waktu cukup lama karena harus mendatangkan alat dari luar negeriMalang, Jawa Timur (ANTARA) - Mahasiswa Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Brawijaya (UB) Malang, Jawa Timur, tengah mengembangkan alat pendeteksi atau pelacak posisi korban gempa bumi yang berada dalam reruntuhan.
Mahasiswa Fakultas MIPA Universitas Brawijaya, Muhammad Rikza Maulana mengatakan, ide awal untuk mengembangkan alat pendeteksi posisi korban gempa dalam reruntuhan tersebut berawal dari salah satu rekan mereka yang selamat dari bencana gempa bumi Padang, Sumatera Barat pada 2009.
"Ini berawal dari teman kami yang selamat dari bencana gempa bumi Padang. Proses penemuan korban memakan waktu cukup lama karena harus mendatangkan alat dari luar negeri," kata Rikza, di Malang, Jumat.
Rikza bersama dua rekannya yakni Satrio Wiradinata Riady Boer dan Adin Okta Triqadafi, mengembangkan sebuah alat dengan bentuk menyerupai kartu tanda pengenal yang diberi nama Detector of Interconnected Position Points (Deoterions).
Dalam pembuatan prototipe Deoterions tersebut, kata dia, biaya yang harus dikeluarkan untuk satu buah alat pelacak korban gempa yang tertimbun reruntuhan itu kurang lebih sebesar Rp100 ribu per unitnya.
Deoterions, katanya, ditujukan untuk mempermudah proses pencarian korban oleh regu penolong atau masyarakat, selama korban membawa alat tersebut. Korban yang tertimbun reruntuhan, pada saat bergerak atau menggerak-gerakkan alat tersebut, akan memberikan data pada alat penerima melalui gelombang radio.
Penerimaan data tersebut, katanya, bisa dilihat melalui telepon pintar atau komputer setelah mengunduh aplikasi Deoterions, yang nantinya tersedia pada platform telepon pintar. Penggunaan aplikasi tersebut bertujuan untuk memudahkan pencarian korban oleh siapapun.
"Karena berkejaran dengan waktu, jadi masyarakat juga bisa menggunakan aplikasi itu, dan langsung mencari korban secara gotong royong," katanya.
Ia menjelaskan alat pendeteksi posisi korban gempa dalam reruntuhan tersebut, memiliki radius kerja 112 meter dan mendeteksi gerakan hingga sedalam lima meter, selama masih ada rongga untuk mengirimkan gelombang radio.
Selain itu, kata dia, alat tersebut dirancang untuk terintegrasi antara satu dengan lainnya, sehingga bisa memperluas jangkauan pencarian korban. Dalam rencana ke depan, alat tersebut diharapkan bisa menembus reruntuhan yang lebih padat, seperti bencana tanah longsor.
Inovasi yang dilakukan oleh tiga mahasiswa tersebut, sudah diajukan ke Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti). Pihak Kemenristekdikti menyetujui inovasi tersebut dan memberikan pendanaan melalui Program Kreativitas Mahasiswa (PKM).
Alat tersebut, kata Muhammad Rikza Maulana, diharapkan bisa dilakukan uji coba oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPDB) Kabupaten Malang, yang nantinya akan memberikan masukan kepada para mahasiswa untuk menyempurnakan inovasi tersebut.
Indonesia terletak di zona seismik Asia Tenggara, dan memiliki potensi untuk dihantam bencana gempa bumi. Beberapa peristiwa gempa bumi di Indonesia dan menelan korban jiwa antara lain adalah gempa Aceh 2004 dengan korban 168.000 jiwa, Yogyakarta 2006 dengan korban 6.234 jiwa, dan gempa padang 2009 menelan 1.115 korban jiwa.
Baca juga: BMKG Tingkatkan Kalibrasi Pendeteksi Gempa
Baca juga: Limbah air RPH diubah mahasiswa Universitas Brawijaya jadi listrik
Baca juga: ITS ciptakan alat peringatan gempa lewat SMS
Pewarta: Vicki Febrianto
Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2019