Bandung (ANTARA News) - Ketua Mahkamah Agung, Bagir Manan SH, mengimbau para hakim untuk menyelesaikan suatu perkara secara cepat sehingga proses persidangan dapat berjalan tepat waktu sebagai salah satu upaya pembentukan pencitraan pengadilan. Saat peresmian Gedung Pengadilan Agama Bandung di Bandung, Senin, Bagir juga menambahkan dengan penyelesaian perkara secara cepat maka berbagai kemudahan harus dilakukan sehingga masyarakat merasa dirinya terlayani dan nyaman. "Untuk mencapai hal tersebut kuncinya hanya ada satu, yaitu kedisiplinan maka jika sidang dimulai pukul 11.00 datanglah ke ruangan sidang pada pukul 11.00," tegas Bagir. Bagir menuturkan masyarakat selama ini dibiarkan terlalu lama menunggu persidangan dan bahkan vonis di pengadilan sehingga muncul ketidaknyamanan dari masyarakat yang menjatuhkan citra pengadilan. "Kalau citranya sudah buruk maka secara tidak langsung dapat meruntuhkan peradaban , oleh karenanya kami melakukan berbagai perombakan dalam memperkuat sumber daya manusia di pengadilan," katanya. Menanggapi hal tersebut, Praktisi Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan SH MS, mengatakan lambatnya persidangan di pengadilan Indonesia disebabkan kebiasaan para aparatnya. "Kebiasaan untuk menunda persidangan selama satu minggu merupakan salah satu penyebabnya sehingga satu sidang yang seharusnya cepat pun berjalan lamban," kata Pohan. Ia juga menjelaskan penundaan sidang dalam waktu tujuh hari diisyaratkan saat akan melakukan penyusunan pembelaan atau pledoi sehingga jika hanya untuk pemeriksaan saksi sebenarnya dapat dilakukan setiap hari. "Tidak masalah jika dilakukan setiap hari dan tidak melanggar ketentuan sehingga satu kasus dapat diselesaikan dengan cepat," katanya. Pohan juga menuturkan kengeriannya dalam penyelesaian kasus perdata di Indonesia yang bisa menghabiskan waktu bertahun-tahun dengan berbagai alasan. "Karena waktunya sangat panjang maka kebanyakan orang mengambil jasa preman dalam menyelesaikan perkara utang piutangnya," tutur Pohan.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008