Denpasar (ANTARA News) - Rumput laut garapan petani di Nusa Penida Bali diserang penyakit ice-ice, sehingga tidak mampu menghasilkan sebagaimana diharapkan untuk mata dagangan ekspor.
"Jangankan memanen rumput laut untuk mata dagangan ekspor, supaya bisa menghasilkan hanya untuk bibit saja sudah bersyukur," kata Ketua Kelompok Petani Rumput Laut Padang Segara, Nusa Penida Nyoman Landep, kepada ANTARA News, Senin.
Di Kepulauan Nusa Penida, yang lokasinya terpisah dengan daratan Bali, petani mulai mengembangkan rumput laut jenis cotony pada 1980-an, tetapi baru kali ini serangan penyakitnya paling parah, yakni sejak 2007 hingga sekarang belum teratasi tuntas.
Rumput laut budidaya masyarakat Pantai Nusa Penida, pulau penghasil rumput laut terbanyak di Bali, menghasilkan sekitar 104.000 ton basah per tahun hasil dari panenan sekitar 260 hektare dari potensi yang ada seluas 290 hektare.
Produksi petani Pantai Nusa Penida adalah rumput laut berkualitas terbaik, sehingga mata dagangan itu laku keras untuk memenuhi permintaan konsumen di sejumlah negara dengan tujuan utama ke China, Jepang dan Taiwan.
Namun, mereka gagal berbudidaya karena selain terserang penyakit busuk batang, suhu air laut yang terjadi belakangan ini juga kurang menguntungkan dalam membudidayakan jenis agar-agar yang baik untuk bahan baku pabrik itu.
Penyakit ice-ice yang menyerang rumput laut tidak saja menyerang budidaya milik petani di Nusa Penida, tetapi juga pernah merugikan petani rumput laut Sulawesi Utara (Sulut) yang pernah merugi sekira Rp20 miliar pada 2007. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008