Brisbane (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda mengatakan terdapat gap (jurang) antara Indonesia dan beberapa negara jirannya, seperti Malaysia dan Singapura, dalam memahami perubahan besar pada proses demokratisasi Indonesia sejak era reformasi.
Dalam perbincangan santainya dengan ANTARA, The Jakarta Post, dan Metro TV di Kafe "Ripples" Sydney seusai bertemu Perdana Menteri Australia Kevin Rudd, Jumat lalu (8/2), Menlu Wirajuda yang bersedia menjawab berbagai pertanyaan mengatakan, negara-negara tetangga cenderung hanya menangkap "hiruk pikuk" proses reformasi saja.
"Yang sering ditangkap (mereka) adalah hiruk pikuknya (reformasi). Sebagai tetangga belum tentu (mereka) memahami dunia yang berubah ini. Kalau mungkin dulu (mereka) menganggap cukup `pegang` Soeharto, sekarang tidak. Tidak mudah buat pemerintah sendiri karena harus ada persetujuan parlemen," katanya.
Bahkan, bagi orang-orang yang tidak memahami perubahan besar Indonesia yang demokratis itu, pernyataannya dalam sebuah rapat dengar pendapat di depan anggota DPR atau kebebasan pekerja pers untuk bertanya yang kemudian muncul di media massa adalah sebuah "megaphone diplomacy".
Padahal ia tidak bermaksud melakukan "megaphone diplomacy" (diplomasi pengeras suara) karena para anggota parlemen itu bebas menanyakan apa saja dan kalangan pekerja pers meresponnya di galeri depan tempat berlangsungnya rapat dengar pendapat di gedung parlemen.
"Artinya mereka menyuarakan sesuatu yang kontroversial. Saya tidak bermaksud untuk `megaphone diplomacy` menentang Singapura, tapi saya tidak bisa menghindari tuntutan publik kita (Indonesia). Ini tidak mereka pahami. Tidak bisa lagi hanya memegang presiden dan akan beres sampai ke bawah ..."
"Ini yang tidak dipahami karena yang terdengar hanya hiruk pikuknya saja. Liputan media mereka juga terbatas. Hal ini sama juga terjadi di Malaysia. Inilah `gap` kita dengan tetangga," kata Menlu Hassan Wirajuda.
Ia kemudian menyampaikan pengalamannya bersama Menlu Malaysia saat ikut menghadiri pertemuan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, pada 2006.
Sepanjang perjalanan dari Padang ke Bukit Tinggi, ia dan Menlu Malaysia melihat banyak rumah penduduk miskin dilengkapi antena parabola berukuran besar. Kondisi yang lumrah di Sumatera Barat itu tidak terjadi di Malaysia.
"Lebih dari itu, jangankan sekarang. Sejak awal tahun 1990-an di era Pak Harto pun Indonesia sudah bebas (warga bebas memiliki parabola). Yang sampai sekarang di Singapura tidak ada karena dilarang. Karena itu, tangkapan rakyat mereka tentang apa yang terjadi di Indonesia ya.. hanya kerusuhannya saja...," katanya.
Bagi publik di negara-negara tetangga yang gagal memahami esensi perubahan besar dalam Indonesia yang demokratis itu, selain kerusuhan, yang mereka tangkap adalah rakyat yang kurang makan. "Itu saja `nggak` lebih. Mereka tidak memahami sebetulnya perubahan besar yang terjadi di situ," katanya.
Menurut Menlu Wirajuda, kegagalan pemerintahan Presiden Soeharto dulu adalah menyeimbangkan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan politik.
"Di situ gagalnya... Dengan pembangunan 25 tahun ekonomi memang perut rakyat kita lebih kenyang, tapi pendidikan selama satu generasi juga menciptakan mereka lebih terdidik. Itulah yang saya katakan `what else` (apalagi yang lain). Perutnya kenyang, lebih pintar. Yang mereka tuntut tidak lain adalah masalah kebebasan."
Kondisi yang sama juga berlaku bagi China dan Vietnam sekarang ini. "Di situ mereka belum teruji. Walaupun kita lihat Komunis China lebih fleksibel dibandingkan kita dulu sekalipun tantangan mereka juga tidak mudah (karena perubahan dunia yang tidak terbendung)," katanya.
Menlu Hassan Wirajuda berada di Australia dari 7 hingga 9 Februari. Sebelum ke Sydney, Menlu Wirajuda menandatangani naskah "proses verbal pertukaran nota diplomatik" Perjanjian keamanan Indonesia -Australia bersama Menlu Stephen Smith di Perth, Kamis (7/2).
Penandatangan pertukaran nota diplomatik itu menandakan mulai berlakunya perjanjian yang ditandatangani di Lombok pada 13 November 2006 dan telah diratifikasi parlemen kedua negara pada 2007 itu. (*)
Copyright © ANTARA 2008