Brisbane (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Nur Hassan Wirajuda mengatakan, diplomasi publik yang dilakukan tanpa harus berbohong, melainkan dilakukan dengan menempatkan fakta-fakta yang ada dalam konteksnya yang tepat dan merupakan cara yang efektif saat menjelaskan kondisi riil Indonesia ke publik luar negeri. "`Public relation` (kegiatan kehumasan) yang paling bagus adalah menampilkan kenyataan... Di Departeman Luar Negeri, kita melihat penting diplomasi publik tanpa harus berbohong tapi setidaknya menempatkannya dalam konteks. Konteks itu kita yang tahu, orang lain (di luar negeri) tidak tahu," katanya kepada ANTARA, The Jakarta Post dan Metro TV di Sydney, Ausralia, akhir pekan lalu. Para diplomat tidak lagi bisa menggunakan adagium lama dalam berdiplomasi karena yang paling efektif adalah bagaimana menciptakan pemahaman terhadap fakta-fakta dalam konteksnya sehingga tidak ditafsirkan secara sangat menyimpang. Karena itu, Menlu Wirajuda mengatakan, meluasnya kiprah diplomasi belakangan ini bisa jadi merupakan buah dari apresiasi terhadap kemajuan yang diraih Indonesia di dalam negeri karena pihak-pihak di luar negeri pun melihat tidak mudah mengelola sebuah negara kepulauan yang sangat pluralistis seperti Indonesia. Menlu Wirajuda juga menyoroti terjadinya `gap` di beberapa negara jirannya, seperti Malaysia dan Singapura, dalam memahami perubahan besar dalam proses demokratisasi Indonesia sejak era reformasi. Ia mengatakan, negara-negara tetangga cenderung hanya menangkap "hiruk pikuk" proses reformasi. "Yang sering ditangkap (mereka) adalah hiruk pikuknya (reformasi). Sebagai tetangga belum tentu (mereka) memahami dunia yang berubah ini. Kalau mungkin dulu (mereka) menganggap cukup `pegang` Soeharto, sekarang tidak. Tidak mudah buat pemerintah sendiri karena harus ada persetujuan parlemen," katanya. Bahkan, bagi orang-orang yang tidak memahami perubahan besar Indonesia yang demokratis itu, pernyataannya dalam sebuah rapat dengar pendapat di depan anggota DPR-RI atau kebebasan pekerja pers untuk bertanya yang kemudian muncul di media massa adalah sebuah "mengaphone diplomacy". Padahal ia tidak bermaksud melakukan "megaphone diplomacy" (diplomasi pengeras suara) karena para anggota parlemen itu bebas menanyakan apa saja dan kalangan pekerja pers meresponsnya di galeri depan tempat berlangsungnya rapat dengar pendapat di gedung parlemen. "Artinya mereka menyuarakakan sesuatu yang kontroversial. Saya tidak bermaksud untuk `megaphone diplomacy` menentang Singapura tapi saya tidak bisa menghindari tuntutan publik kita (Indonesia). Ini tidak mereka pahami. tidak bisa lagi hanya memegang presiden dan akan beres sampai ke bawah ..." "Ini yang tidak dipahami karena yang terdengar hanya hiruk pikuknya saja. Liputan media mereka juga terbatas. Hal ini sama juga terjadi di Malaysia. Inilah gap kita dengan tetangga," kata Menlu Hassan Wirajuda.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008