Jakarta (ANTARA) - Petani sawit yang tergabung dalam Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) meminta pemerintah untuk melanjutkan kebijakan pungutan ekspor (PE) sawit.
Hal itu, menurut Ketua Umum DPP Apkasindo Gulat ME Manurung di Jakarta, Kamis, karena dana pungutan ekspor telah dirasakan petani melalui berbagai kegiatan seperti Peremajaan Sawit Rakyat (PSR), beasiswa anak petani serta buruh sawit, dan pelatihan kompetensi petani.
"Apkasindo tegaskan pungutan ekspor harus dipertahankan. Karena program ini menjadi bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan perekonomian nasional serta daerah," ujarnya seusai pertemuan dengan Ketua Dewan Pembina DPP Apkasindo Moeldoko.
Terkait tuduhan sejumlah pihak bahwa pungutan ekspor menjadi biang keladi turunnya harga TBS sawit petani belakangan ini, Gulat menolak hal itu,
"PE tidak ada kaitannya dengan penurunan harga TBS petani. Itu sebabnya, pungutan ekspor perlu diberlakukan kembali walaupun besarannya perlu disesuaikan, " katanya.
Menurut dia, sejak pertengahan 2015, dana pungutan yang dikelola Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) sangat bermanfaat bagi para petani khususnya.
Sebagai contoh, ada 10 ribu petani sawit Apkasindo di 22 provinsi dan 116 Kabupaten/Kota yang mendapatkan pelatihan teknis berkebun.
Terkait program beasiswa, ada 1.500 anak-anak petani di 22 provinsi menerima beasiswa pendidikan D1 dan D3 sawit di Instiper Yogyakarta dan Poltek Sawit CWE. Selain itu, dana pungutan juga dimanfaatkan bagi pengembangan riset dan kegiatan promosi sawit di dalam serta luar negeri.
Adapula lebih dari 50 ribu hektar lahan petani sudah mendapatkan hibah Rp25 juta/hektar untuk program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
"Yang harus dicatat, PSR ini kebijakan strategis pemerintahan Joko Widodo dalam rangka meningkatkan kesejahteraan petani. Program tersebut dapat terjadi karena Presiden menerbitkan Perpres 61 Tahun 2015 dan berdirinya BPDP-KS. Selama negara ini berdiri, belum ada kebijakan strategis seperti itu," katanya.
Sekjen DPP Apkasindo Rino Afrino menyatakan, berdasarkan kajian tim pakar dan diskusi Apkasindo bahwa pungutan ekspor ditunda penerapannya sejak Desember 2018.
Artinya sampai hari ini tidak ada pungutan yang dilakukan pemerintah, tambahnya, namun harga TBS sempat bergerak naik sampai Februari 2019 dan selanjutnya menukik turun sampai hari ini.
"Jadi tidak ada relevansinya antara pungutan ekspor dengan harga TBS yang rendah belakangan ini" katanya.
Menurut dia, penyebab harga TBS petani terus merosot justru oleh mekanisme teknis perhitungan harga dan tata niaga TBS di lapangan yang rancu.
"Sudahlah rancu, penerapan sanksi pun tidak ada, sehingga semua sesuka PKS (Pabrik pengolah kelapa sawit) saja," ujar Rino.
Padahal dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 1 tahun 2018 tentang pedoman penetapan harga pembelian TBS produksi pekebun, sudah jelas terstruktur aturan mainnya.
Rino mencontohkan dalam Pasal 4 Permentan dikatakan perusahaan perkebunan membeli TBS pekebun/petani mitra melalui kelembagaan pekebun.
"Ini artinya, pabrik mesti membeli dari kelembagaan petani dan harus ada kemitraan. TBS tidak dibeli dari tengkulak atau pengepul. Namun kenyataan di lapangan malahan pengepul dan tengkulak yang merajai," ujar Rino.
Kepada pabrik, Apkasindo meminta supaya pabrik benar-benar menjadikan petani sebagai mitra. Edukasi mereka untuk menghasilkan TBS yang bagus sebab semakin bagus TBS petani, pabrik juga akan untung dan ini akan saling memberi efek kepada ekonomi secara global.
Dewan Pembina Apkasindo Bayu Krisnamurthi, , juga sepakat dengan pemberlakuan kembali pungutan ekspor, alasannya, dana pungutan sangat berguna untuk industri persawitan nasional.
"Salah satunya untuk kepentingan ketahanan energi dengan menciptakan biofuel yang akan sangat berdampak pada meningkatnya permintaan CPO di dalam negeri," katanya.
Baca juga: Industri usulkan pungutan ekspor sawit berlaku kembali
Baca juga: Kebijakan pungutan ekspor CPO diminta dicabut
Pewarta: Subagyo
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019